"Salah satu tradisi di Aceh adalah “Kanduri Mulod” yang dilaksanakan setiap tahun. Tradisi tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. 12 Rabiul Awwal. “Kanduri Mulod” di Aceh dilaksanakan pada tiga bulan hijriah yaitu pada bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan Jumadil Awwal (mulod akhe)".
Sebelum Islam masuk ke Aceh, Hindu (mistisme) merupakan agama masyarakat Aceh. Hinduisme sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Aceh tercermin dari aktivitas ritual dan tradisi setempat. Akan tetapi mulai abad ke – 7 H/13 M, Islam menjadi agama mayoritas bagi masyarakat Aceh, dan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (Sultan Malikus Shalih w. 1297) sebagai kerajaan Islam kedua di Aceh menandai bahwa kekuasaan politik di Aceh telah dikuasai oleh masyarakat Islam Aceh.
Sebelum masyarakat Islam Aceh menguasai politik, muslim Islam Aceh merupakan komunitas pinggiran yang berada dibawah pengaruh kekuasaan raja Hindu yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini terlihat dari catatan Marcopolo yang mengunjungi Aceh pada tahun 1292 M. menurut Marcopolo, pada saat ia datang, Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan kecil dan semua kerajaan tersebut menyembah berhala kecuali Pereulak, karena Peureulak selalu didatangi oleh pedagang muslim.
Kerajaan Peureulak inilah yang merupakan kerajaan Islam pertama di Aceh yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H. yang diikuti dengan berkembangnya lembaga pendidikan Islam “ Dayah Cot Kala”. Lembaga pendidikan inlah menjadi dasar pengembangan ilmu keislaman di Aceh yang kemudian terus berkembang menjadi sumber perkembangan Islam di Nusantara.
Islam masuk ke Aceh melalui pedagang Islam dari Arab. Disamping berdagang, mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi yang ketika itu mayoritas beragama Hindu dengan cara berdakwah dan perkawinan.
Pembumian Islam di Aceh oleh bangsa Arab bukan oleh India, Persi dan Gujarat sebagaimana anggapan sejarawan lain dalam kajian ini didasarkan kepada teori yang dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas.
Menurut Al-Attas, masuknya Islam di Nusantara mesti berpegang pada “teori umum mengenai islamisasi Nusantara”, di mana yang menjadi dasarnya adalah karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia yang ada saat ini. Dalam hal ini Al-Attas mengatakan bahwa konsep-konsep, istilah – istilah kunci dalam literatur Melayu – Indonesia, tidak ada hubungannya dengan India, namun berhubungan langsung dengan Arab. Meskipun ada beberapa istilah Persia, namun asalnya Arab juga. Dengan demikian, jelah bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung dari Arab.
Kedatangan pedagang Arab ke Aceh, kalangan sejarawan melaporkan bahwa tidak terlepas dari popularitas kerajaan Sriwijaya yang mengalami masa puncaknya pada abad ke 9 – 10 M di samping pengaruh geografis di mana posisi Aceh sangat strategis bagi pelayaran lintas dunia. Daerah ini menjadi pintu utama perdagangan yang terletak di selat Melaka dan memiliki terusan sempit dalam rute perdagangan laut negeri – negeri Islam ke Cina.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ketika masyarakat Aceh mengalami akulturasi budaya dengan bangsa Arab serta migrasi agama besar – besaran masyarakat Nusantara ke agama Islam pada abad ke – 15 M yang disebabkan oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram, Islam sebagai keyakinan bagi masyarakat semakin kuat pengaruhnya terhadap budaya di Aceh.
Dominasi nilai – nilai Islam dalam budaya lokal Aceh memberitahukan kepada kita bahwa, masyarakat Aceh sangat cenderung kepada Islam kendatipun Islam merupakan agama baru bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana konsep Islamisasi masyarakat Aceh yang dilakukan para pendakwah?. Tentang hal ini, Sayyed Muhammad Naquib Al –Attas dalam buku Islam dan sekularisme melaporkan bahwa Islamisasi kawasan Sumatera (Aceh) dilakukan dengan pendekatan persuasif (sufistik).
Dengan metode tersebut, dakwah dilakukan secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri. Dakwah dilakukan dengan cara Islamisasi budaya yaitu budaya lokal tetap dipertahankan, akan tetapi aspek normatif budaya disesuaikan berdasarkan ajaran Islam.
Di antara budaya lokal yang dipertahankan dan tetap berlaku sampai sekarang di Aceh adalah penggunaan padi, beras, rumputun, tepung, boeh kruet dan lain – lain (item-culture) dalam kegiatan “Peusijeuk (Trait complex culture)” yang mana bahan-bahan tersebut juga digunakan dalam civitas budaya pra-Islam di Aceh. Ketika Islam datang, aktivitas menggunakan bahan – bahan tersebut diIslamkan dengan menerapkan falsafah “tawasshul (culture)” yang merupakan salah satu thariqah (cultural universal) untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah swt. dan upaya mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah anjuran Islam (sistem universal Islam).
Fenomena Islamisasi demikianlah yang menyebabkan antara hukum Islam dan budaya Aceh tidak bisa dipisahkan meskipun bisa dibedakan. Inilah yang melatari falsafah “hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut” yaitu budaya dalam aspek normatif adalah diberdasarkan ajaran Islam. Oleh sebab itulah budaya Aceh dinamakan sebagai budaya Islam.
Dampak yang paling besar dari proses Islamisasi masyarakat Aceh dengan cara persuasif adalah tradisi politik Arab diadopsi oleh kerajaan Aceh khususnya menyangkut dengan gelar penguasa yang digelari sebagai “Sultan” dimana sebelum Islam, gelar penguasa kerajaan digelari dengan gelaran ”raja”.
Berdasarkan rekonstruksi sejarah di atas menunjukkan, Islamisasi Aceh secara sufistik oleh para pendakwah dari Arab telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai bangsa yang inklusif. Hal demikian terlihat dari kebijakan penguasa kerajaan Aceh dengan menggantikan gelaran penguasa dari “raja” menjadi “sultan”. Oleh sebab itu, Islamisasi budaya dan arabisasi politik di Aceh merupakan rujukan penting dalam meneliti keaneka ragaman kebudayaan di Aceh.
Di Aceh, ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwal yang diistilahkan dengan mulod akhe.
Sebagaimana umat Islam di daerah lain melaksanakan Maulid Nabi SAW., masyarakat Islam di Aceh juga menyelenggarakan budaya Islam tersebut. Budaya Islam ini dalam tradisi Aceh dinamakan sebagai“ Kanduri Mulod”.
Bagi masyarakat Aceh, memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. (12 Rabiul Awwal) dalam bentuk “Kanduri Mulod” diselenggarakan di dalam tiga (3) yaitu bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan pada bulan Jumadil Awal (mulod akhe).
Sebelum masyarakat Islam Aceh menguasai politik, muslim Islam Aceh merupakan komunitas pinggiran yang berada dibawah pengaruh kekuasaan raja Hindu yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini terlihat dari catatan Marcopolo yang mengunjungi Aceh pada tahun 1292 M. menurut Marcopolo, pada saat ia datang, Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan kecil dan semua kerajaan tersebut menyembah berhala kecuali Pereulak, karena Peureulak selalu didatangi oleh pedagang muslim.
Kerajaan Peureulak inilah yang merupakan kerajaan Islam pertama di Aceh yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H. yang diikuti dengan berkembangnya lembaga pendidikan Islam “ Dayah Cot Kala”. Lembaga pendidikan inlah menjadi dasar pengembangan ilmu keislaman di Aceh yang kemudian terus berkembang menjadi sumber perkembangan Islam di Nusantara.
Islam masuk ke Aceh melalui pedagang Islam dari Arab. Disamping berdagang, mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi yang ketika itu mayoritas beragama Hindu dengan cara berdakwah dan perkawinan.
Pembumian Islam di Aceh oleh bangsa Arab bukan oleh India, Persi dan Gujarat sebagaimana anggapan sejarawan lain dalam kajian ini didasarkan kepada teori yang dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas.
Menurut Al-Attas, masuknya Islam di Nusantara mesti berpegang pada “teori umum mengenai islamisasi Nusantara”, di mana yang menjadi dasarnya adalah karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia yang ada saat ini. Dalam hal ini Al-Attas mengatakan bahwa konsep-konsep, istilah – istilah kunci dalam literatur Melayu – Indonesia, tidak ada hubungannya dengan India, namun berhubungan langsung dengan Arab. Meskipun ada beberapa istilah Persia, namun asalnya Arab juga. Dengan demikian, jelah bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung dari Arab.
Kedatangan pedagang Arab ke Aceh, kalangan sejarawan melaporkan bahwa tidak terlepas dari popularitas kerajaan Sriwijaya yang mengalami masa puncaknya pada abad ke 9 – 10 M di samping pengaruh geografis di mana posisi Aceh sangat strategis bagi pelayaran lintas dunia. Daerah ini menjadi pintu utama perdagangan yang terletak di selat Melaka dan memiliki terusan sempit dalam rute perdagangan laut negeri – negeri Islam ke Cina.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ketika masyarakat Aceh mengalami akulturasi budaya dengan bangsa Arab serta migrasi agama besar – besaran masyarakat Nusantara ke agama Islam pada abad ke – 15 M yang disebabkan oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram, Islam sebagai keyakinan bagi masyarakat semakin kuat pengaruhnya terhadap budaya di Aceh.
Dominasi nilai – nilai Islam dalam budaya lokal Aceh memberitahukan kepada kita bahwa, masyarakat Aceh sangat cenderung kepada Islam kendatipun Islam merupakan agama baru bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana konsep Islamisasi masyarakat Aceh yang dilakukan para pendakwah?. Tentang hal ini, Sayyed Muhammad Naquib Al –Attas dalam buku Islam dan sekularisme melaporkan bahwa Islamisasi kawasan Sumatera (Aceh) dilakukan dengan pendekatan persuasif (sufistik).
Dengan metode tersebut, dakwah dilakukan secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri. Dakwah dilakukan dengan cara Islamisasi budaya yaitu budaya lokal tetap dipertahankan, akan tetapi aspek normatif budaya disesuaikan berdasarkan ajaran Islam.
Di antara budaya lokal yang dipertahankan dan tetap berlaku sampai sekarang di Aceh adalah penggunaan padi, beras, rumputun, tepung, boeh kruet dan lain – lain (item-culture) dalam kegiatan “Peusijeuk (Trait complex culture)” yang mana bahan-bahan tersebut juga digunakan dalam civitas budaya pra-Islam di Aceh. Ketika Islam datang, aktivitas menggunakan bahan – bahan tersebut diIslamkan dengan menerapkan falsafah “tawasshul (culture)” yang merupakan salah satu thariqah (cultural universal) untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah swt. dan upaya mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah anjuran Islam (sistem universal Islam).
Fenomena Islamisasi demikianlah yang menyebabkan antara hukum Islam dan budaya Aceh tidak bisa dipisahkan meskipun bisa dibedakan. Inilah yang melatari falsafah “hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut” yaitu budaya dalam aspek normatif adalah diberdasarkan ajaran Islam. Oleh sebab itulah budaya Aceh dinamakan sebagai budaya Islam.
Dampak yang paling besar dari proses Islamisasi masyarakat Aceh dengan cara persuasif adalah tradisi politik Arab diadopsi oleh kerajaan Aceh khususnya menyangkut dengan gelar penguasa yang digelari sebagai “Sultan” dimana sebelum Islam, gelar penguasa kerajaan digelari dengan gelaran ”raja”.
Berdasarkan rekonstruksi sejarah di atas menunjukkan, Islamisasi Aceh secara sufistik oleh para pendakwah dari Arab telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai bangsa yang inklusif. Hal demikian terlihat dari kebijakan penguasa kerajaan Aceh dengan menggantikan gelaran penguasa dari “raja” menjadi “sultan”. Oleh sebab itu, Islamisasi budaya dan arabisasi politik di Aceh merupakan rujukan penting dalam meneliti keaneka ragaman kebudayaan di Aceh.
Di Aceh, ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwal yang diistilahkan dengan mulod akhe.
Sebagaimana umat Islam di daerah lain melaksanakan Maulid Nabi SAW., masyarakat Islam di Aceh juga menyelenggarakan budaya Islam tersebut. Budaya Islam ini dalam tradisi Aceh dinamakan sebagai“ Kanduri Mulod”.
Bagi masyarakat Aceh, memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. (12 Rabiul Awwal) dalam bentuk “Kanduri Mulod” diselenggarakan di dalam tiga (3) yaitu bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan pada bulan Jumadil Awal (mulod akhe).
“Kanduri Mulod” merupakan salah satu adat (tradisi) yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh. Adat tersebut termasuk dalam salah satu adat memperingati hari besar Islam di Aceh yang meliputi juga tentang peringatan turun Al-Quran (Nuzulul Quran) dan mengenang peristiwa Israk Mi’raj.
Tradisi “Kanduri Mulod” bagi masyarakat Aceh bukan dimaknai dengan makan bersama yang identik dengan hura-hura dan mubazir. Bagi masyarakat Aceh, tradisi ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah SWT. dan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW., serta memperkokoh ukhwah islamiyah untuk menumbuhkan solidaritas dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relavansi dengan tujuan Islam.
Tradisi “Kanduri Mulod” bagi masyarakat Aceh bukan dimaknai dengan makan bersama yang identik dengan hura-hura dan mubazir. Bagi masyarakat Aceh, tradisi ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah SWT. dan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW., serta memperkokoh ukhwah islamiyah untuk menumbuhkan solidaritas dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relavansi dengan tujuan Islam.
Berdasarkan kepada tujuan “Kanduri Mulod”, kegiatannya sarat dengan pendidikan keagamaan. Pendidikan tersebut dilakukan dalam bentuk perlombaan hafalan Al-Quran, perlombaan shalat, cerdas cermat, pidato dan lain – lain yang diperuntukkan untuk anak – anak dan remaja. Kegiatan ini biasanya dilakukan tiga hari sebelum acara “Kanduri Mulod”. Hasil dari perlombaan ini diumumkan serta diberikan hadiah kepada para juara pada acara puncak “Kanduri Mulod” sebelum dakwah akbar dimulai.
Pada hari “Kanduri Mulod”, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Makanan yang disedekahkan masyarakat berupa nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi tiga yang dinamakan dengan “b
Pada hari “Kanduri Mulod”, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Makanan yang disedekahkan masyarakat berupa nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi tiga yang dinamakan dengan “b
ue kulah” beserta lauk pauk mulai dari gulai ayam kampung, gulai kambing, gulai ikan, telur bebek, sayur nangka, buah-buahan, kue dan lain – lain. Makanan – makanan tersebut dibungkus dengan tudung saji berkainkan berenda emas. Tudung saji tersebut berbentuk kerucut dengan warna dominan hijau, kuning, dan hitam yang dinamakan sebagai “Idang Meulapeh”.
Dalam “Kanduri Mulod”, anak - anak yatim dan fakir miskin mendapat pelayanan khusus dari masyarakat sebagai wujud kecintaan mereka kepada golongan tersebut. Bahkan ada dibeberapa daerah di Aceh, masyarakat menyantuni mereka dengan sejumlah uang.
Tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh bersampulkan lantunan shalawat, zikir dan syair - syair mengagungkan Allah SWT. dan mendoakan keselamatan untuk Rasulullah SAW. keluarga beserta shahabat serta untuk seluruh umat Islam yang terdengar indah dan menggugah jiwa yang keluar dari mulut – mulut remaja Dayah dengan suara yang merdu dan nyaring. Suara-suara itulah yang dinamakan dengan “Barzanji” yang merupakan salah satu karakter khusus dalam tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh.
Sedangkan pada malam hari sebagai kegiatan puncak “Kanduri Mulod”, masyarakat mengadakan dakwah akbar yang berisikan tentang sirah nabawiyah untuk dijadikan sebagai ibrah oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan.
Sarana yang dipersiapkan untuk dakwah akbar berupa mimbar penda’i juga tidak luput dari sentuhan seniman – seniman remaja setempat. Bentuk – bentuk mimbar dibuat dalam bentuk binatang, bangunan, pesawat, helicopter, mobil dan lain – lain sehingga suasana semakin semarak.
Bentuk – bentuk binatang yang dibuat berupa binatang – binatang yang terlibat dalam sejarah kerasulan Rasulullah SAW. seperti unta dan laba – laba. Sedangkan mimbar dalam bentuk bangunan dibuat berbentuk bangunan Mesjid dengan atap berbentuk kubah.
Aceh salah satu wilayah yang mayoritas beragama Islam juga merayakan budaya tersebut. Budaya Islam ini dirayakan berdasarkan tradisi Aceh dengan keunikan – keunikan tersendiri.
Idang Meulapeuh yang berisikan beragam makanan khas Aceh, Bue Kulah, Barzanji, aneka perlombaan agama untuk anak – anak dan remaja, santunan anak yatim dan fakir miskin, aneka bentuk mimbar yang unik serta dakwah akbar adalah ciri – ciri khas Aceh dalam memperingat kelahiran Nabi besar Muhammad SAW.
Unsur - unsur itulah yang membedakan tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh dengan daerah dan negara Islam lain disamping dari nama tradisi tersebut yaitu “Kanduri Mulod”
**********************
Unsur - unsur itulah yang membedakan tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh dengan daerah dan negara Islam lain disamping dari nama tradisi tersebut yaitu “Kanduri Mulod”
**********************
Sumber : LPI Darul Istiqamah Bireuen, http://www.facebook.com/note.php?note_id=199404173408223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar