Bila kita melakukan perjalanan dari Banda Aceh kearah Meulaboh, setelah melewati puncak tertinggi di daerah tersebut yaitu puncak gunung Geurute maka kita akan memasuki sebuah kota yang terkenal dengan kota Lamno atau Peukan Lamno. Di daerah Lamno inilah dulu pernah berdiri kerajaan Daya yang pernah mengalahkan pasukan Portugis dan mengislamkan mereka serta mendirikan perkampungan etnis Portugis, sehingga daerah ini juga dikenal dengan perkampungan Si Mata Biru. Diatas puncak bukit di daerah Kuala Daya terdapat perkuburan raja – raja Daya yang terkenal dengan Almarhum Daya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan Meureuhom Daya, karena itulah daerah ini dikenal juga dengan negeri Meureuhom Daya.
Setelah peleburan kerajaan Daya menjadi kerajaan Aceh Darussalam di tahun 1520 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah nama Daya terasa hilang seiring perjalanan waktu. Kemudian semenjak didirikan pesantren BUDI di tahun 1967 oleh Teungku Haji Ibrahim Ishak, nama daerah Meureuhom Daya atau Lamno kembali mencuat kepermukaan, terutama bagi yang ingin mengecap pendidikan agama.
A. Silsilah
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Budi Lamno lahir di Mukhan, Lamno, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya) pada tahun 1936. Beliau berumah tangga dengan seorang perempuan bernama Hajjah Sunainiyah. Dari perkawinan itu beliau dikarunia empat orang anak yaitu Nabhani, Chairiati, Afifuddin dan Nurhidayati.
B. Pendidikan
Ketika umurnya telah sampai usia menuntut ilmu, Teungku Ibrahim dimasukkan oleh orang tuanya untuk mengecap pendidikan dasar pada Sekolah Rakyat (SR). Dengan ketekunan dan kedisiplinannya, beliau menyelesaikan pendidikan di sekolah ini pada tahun 1949. Walaupun pendidikan dasarnya pada lembaga pendidikan umum, namun orang tuanya melihat putranya ini memiliki bakat dan minat pada pendidikan agama. Karenanya Teungku Ibrahim Ishak selanjutnya dikirim ke Labuhan Haji untuk belajar di Dayah Darussalam yang dipimpin oleh Abuya Muda Waly. Lama beliau belajar di dayah ini hingga tahun 1958.
Seiring dengan kepulangan guru beliau Teungku Abdul Aziz (Abon Samalanga) dari Labuhan Haji ke Samalanga pada tahun 1958 untuk memimpin Dayah MUDI MESRA (Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya), maka Teungku Ibrahim Ishak ikut serta ke Samalanga guna untuk menambah ilmu yang dirasakan belum cukup serta untuk membantu Abon Samalanga mengajar di MUDI MESRA. Teungku Ibrahim Ishak mengabdi di Samalanga hingga tahun 1963. Kehausan terhadap ilmu agama tidak pernah membuat Teungku Ibrahim Ishak merasa puas sehingga dari Samalanga beliau berangkat ke Sumatera Barat untuk belajar di sana hingga tahun 1966.
C. Kiprah terhadap masyarakat
Pada tahun 1967 atau sekembali dari memperdalam ilmu agama di Sumatera Barat, Teungku Ibrahim Ishak membuka lembaga pengajian di kampung halamannya. Lembaga pengajian ini bernama Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah, dayah ini disingkat dan lebih dikenal oleh masyarakat dengan dayah BUDI, maka terkenallah beliau dengan panggilan Abu Budi.
Semenjak beliau dirikan pesantren ini hingga akhir hayatnya, beliau selalu memimpin lembaga pendidikan ini dan membina santri – santri yang berdatangan dari seluruh wilayah Aceh serta ada beberapa santri dari luar propinsi Aceh. Beliau seolah – olah tidak mempunyai perasaan bosan dan jenuh untuk membina dan memberi semangat kepada para guru dan santri untuk selalu giat belajar. Abu Budi berpandangan bahwa ilmu akan mudah didapat apabila para pelajar agresif, maka Abu Budi menganjurkan agar dihidupkan Munazharah (berdebat Hukum agama) di setiap pengajian. Oleh karena itu dayah BUDI Lamno terkenal dengan ciri khasnya yaitu diadakannya munazharah disetiap pengajian.
Kepiawan Abu Budi dalam mengupas hukum – hukum agama dengan menggunakan dalil aqli dan naqli dalam setiap pengajian dan acara mubahasah agama dengan gaya beliau yang khas membuat beliau sangat terkenal, sehingga ada yang menjuluki beliau sebagai ulama Mantiq dan juga terasa hambar acara mubahasah agama tanpa kehadiran beliau. Lokasi dayah yang tidak begitu strategis karena berada di muara sungai Lamno yang membuat air di situ menjadi payau dan krisis air bersih, tapi karena karisma Abu Budi yang terkenal membuat santri dari berbagai daerah bahkan yang sudah menjadi guru di pesantren yang lain berdatangan ke dayah BUDI karena ingin menimba ilmu di dayah tersebut. Dayah ini dikenal oleh masyarakat umum, ada 800 orang santri pria dan 700 orang santri perempuan belajar di dayah ini pada tahun 1997, tercatat ada yang berasal dari Jambi, Lampung, Padang, Sulawesi dan Malaysia.
Pada tahun 1990 Abu Budi menjabat sebagai ketua MUI (sekarang MPU) kecamatan Jaya dan pengurus Persatuan Dayah Inshafuddin. Jabatan lain yang dijabatnya hingga akhir hayat adalah ketua IPHI Kecamatan Jaya, ketua DPC PERTI Aceh Barat, wakil ketua MPW PPP Aceh dan ketua DPC PPP Aceh Barat. Semenjak usia muda, Teungku Haji Ibrahim Ishak sangat aktif di bidang pendidikan agama dan sangat berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan dalam upaya membantu berbagai program pemerintah. Setiap pemilu Teungku Haji Ibrahim Ishak aktif berkampanye untuk PPP.
D. Akhir hayat
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau Abu Budi Lamno salah seorang ulama karismatik Aceh meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1997 dalam usia 61 tahun. Pimpinan dayah BUDI Lamno itu menghembus nafas terakhir dirumahnya desa Jangeut Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya).
Menjelang detik – detik ajalnya , Abu Budi sempat menitip sebuah amanah kepada keluarga, santri dan dewan guru "jagalah dayah ini baik – baik", demikian pesan Abu Budi yang diulang sebanyak tiga kali. Berita meninggalnya Abu Budi begitu cepat menyebar. Gelombang masyarakat tak pernah henti berdatangan hingga berlangsungnya pemakaman di desa Jangeut, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.#
Ditulis oleh : Tgk Zulfahmi MR; staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, Cot Trueng. Tulisan ini merupakan nukilan dari buku "Biografi Ulama Aceh Abad XX Jilid II".
Sumber : http://soelaldjunayd.blogspot.com/2010/12/profil-ulama-ulama-aceh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar