Subscribe:

Ads 468x60px

Saweu Gampoeng Tanoeh Geutanyoe Seuramoe Mekkah

Senin, 15 Agustus 2011

GULEE ASAM KEU-EUNG EUNGKOT KERLING

Ikan Kerling merupakan jenis ikan air tawar yang biasa diperoleh masyarakat Aceh di sungai-sungai. Jenis ikan ini dijual sangat mahal karena sangat sulit didapat dan hanya bisa ditemukan di sungai beberapa daerah saja, sehingga ikan kerling ini tergolong ke dalam jenis ikan yang langka. Harganya bisa berkisar Rp.100.000 hingga Rp.200.000 per ekornya. Selain itu, daging ikan ini terkenal sangat lezat dan lembut. Bahkan sisiknya saja bisa dinikmati. Biasanya ikan ini nikmat dimasak menjadi masakan Asam keueng khas Aceh.

GULEE ASAM KEU-EUNG EUNGKOT KERLING


RESEP :
 Bahan :

1. Ikan Kerling, potong-potong tanpa membuang. Sisik yang ada jangan dibuang.
2. Belimbing Wuluh
3. Daun jeruk
4. Sere

 Bumbu yang dihaluskan :
1. 3 cabe Merah
2. 7 cabe rawit
3. kunyit 2 cm
4. 4 Asam Sunti 4
5. 1 butir bawang putih
6. 7 butir bawang merah
7. Sedikit lengkuas

Cara memasaknya :
Ikan yang telah dicuci bersih dilumuri dengan garam dan jeruk nipis. Letakkan dalam kuali. Lalu campur dengan semua bahan dan bumbu yang telah dihaluskan. Hidupkan kompor, lalu masak sebentar hingga bumbu meresap ke dalam ikan. Setelah itu, tambahkan air sebagai kuah secukupnya. Tunggu hingga matang.

Selamat Menikmati....

Sumber : http://aneukabumamak.blogspot.com/2011/08/kuliner-aceh-gulai-eungkot.html


[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 12 Agustus 2011

Samudra Pasai

Kerajaan Samudra Pasai terletak di pesisir timur laut aceh, saat ini menjadi kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara. Kerajaan ini merupakan kerajaan islam kedua di Indonesia setelah Perlak. Untuk waktu yang lama, Pasai dianggap oleh kerajaan islam lain di Nusantara sebagai pusat Islam.

Lahirnya samudra pasai sebagai kerajaan islam diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke 13, sebagai hasil proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi ulama-ulama muslim sejak abad ke 7. fakta tentang berdirinya Kerajaan islam Samudra Pasai pada abad ke 13 ini didukung oleh data-data sejarah yang nyata. Yang terpenting di antaranya adalah batu nisan yang memuat nama sultan Malik Al-saleh, rajanya yang pertama, berangka tahun 696 H atau 1297 M. Di jawa, pada saat itu sedang berdiri Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh (1293 – 1478 M).

Data ini dikuatkan oleh kitab Hikayat raja-raja pasai. Hikayat ini menyebutkan bahwa raja pertama dan sultan pendiri kerajaan Samudra Pasai adalah malik Al-Shaleh. Adapun namanya sebelum menjadi raja adalah Marah Sile atau Marah Selu. Ia masuk islam atas bimbingan Syekh Ismail, seorang ulama utusan Syarif Mekkah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Shaleh.

Marah Selu adalah putra Marah Gajah. Nama marah adalah gelar bangsawan yang lazim di Sumatra utara, setingkat dengan raden di jawa. Kata Selu berasal dari sungkala yang artinya berasal dari bahasa sansekerta. Kepemimpinan marah selu yang menonjol telah menempatkan dirinya menjadi raja, setelah sebelumnya selalu ditolak dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain.

Sultan Malik Al-shaleh adalah raja pertama dan pendiri kerajaan Samudra Pasai. Fakta ini dapat diketahui melalui Hikayat Melayu. Dalam hikayat itu disebutkan juga bahwa Marah Selu mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan penolakan dari daerah-daerah yang bersangkutan, akan tetapi kemudian ia menjadi raja di suatu daerah.
Hikayat itu menyebutkan,
“Suatu hari Marah Selu Pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya, bernama pasai. Maka dilepaskannya anjing it. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing , maka ditangkapnya oleh Marah Selu itu lalu dimakannya. Maka orang yang menyertainya berburu itu disuruh untuk membersihkan tanah tinggi untuk dibuat istana.
“setelah selesai maka marah selu pun dudukalh di sana dengan segala hulu-balangnya dan segala rakyatnya. Tempat itu dinamai oleh Marah Selu Negeri Samudera, artinya semut yang amat besar”

Tentang Nama pasai, Hikayat melayu menyebutkan,
“setelah sudah jadi negeri itu, maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itu pun matilah pada tempat itu. Maka disuruh tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda dengan nama anjing itu”. Nama Samudera lama kelamaan disebut sebagai Sumatra, dan menjai nama pulau itu.

Hikayat itu juga menceritakan,
“Suatu ketika Marah Selu bermimpi seseorang memegang dagunya dengan kuat dan matanya ditutup dengan empat jarinya, lalu berkata. ‘hai Marah Selu, katakana olehmu dua kalimat syahadat’. Maka sahut Marah Selu, ‘Tiada hamba tahu mengucap akan hal itu.’ Maka ujarnya, ‘bukakan mulutmu.’ Maka dibukakan mulut Marah Selu, maka diludahinya mulut Marah Selu itu, rasanya lemak manis. Maka ujarnya akan Marah Selu, ‘hai Marah Selu, engkaulah sultan Malik al-Shaleh namamu sekarang. Islamlah engkau dengan mengucapkan dua kalimat itu…”

Sejak itulah, Marah Selu menjadi sultan sebuah kerajaan islam yang bernama Samudera Pasai, dengan gelar sultan malik Al Shaleh. Apa yang terdapat dalam hikayat raja-raja pasai dan Hikayat melayu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje, Moquccte, Moens, Hushoff Poll, Rouffacr dan Cowan, yang menyebutkan bahwa kerajaan islam Samudera pasai berdiri pada pertengahan abad ke 13, dan pendirinya adalah sultan Malik al-Shaleh. Tempat yang pertama menjadi pusat kerajaan Samudra Pasai adalah muara sungai pasangan. Sungai pasangan adalah sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar sepanjang rute pantai, yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman.

Ada dua kota besar yang berada bersebarangan di muara sungai pasangan itu, yakni kota Pasai dan Samudra. Kota samudra terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak agak lebih ke muara sungai. Sultan Malik al-Shaleh memimpin dan menyatukan kedua wilayah itu.

Kerajaan samudra pasai adalah sebuah kerajaan maritime. Sumber-sumber cina menyatakan bahwa pada awal tahun 1290, kerajaan itu telah mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim, yaknik Husein dan Sulaiman. Dalam kehidupan perekonomiannya, samudra pasai pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak mempunyai basis agrarian, melainkan perniagaan dan pelayaran.

Pengawasan terhadap perniagaan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan yang besar dari pajak. Hal itu dibenarkan oleh Tome Pires, wartawan portugis. Ia melaporkan, di pasai pada tahun 1513, setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak. Ia juga menceritakan bahwa pasai memiliki mata uang drama atau dirham yang berukuran kecil. Adanya mata uang tersebut membuktikan bahwa pada saat itu Samudra Pasai merupakan kerajaan yang makmur.

Ditinjau dari segi geografi dan social ekonomi, Samudra Pasai memang merupakan suatu daerah yang penting, sebagai penghubung antara pusat-pusat perniagaan yang terdapat di kepulauan nusantara, Malaya, India, Cina dan Arab. Posisi yang strategis tersebut menjadikan kerajaan ini pusat perniagaan yang sangat penting.

Mata uang dirham dari Samudera Pasai itu menjadi bukti yang menunjukkan sejarah raja-raja pasai. Sebab, mata uang tersebut menerangkan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Sultan Abdullah. Pada tahun 1973, ditemukan lagi sebelas mata uang dirham, di antaranya ada yang memuat nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah. Semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke 14 dan ke 15. Atas dasar mata uang emas yang pernah ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja SAmudera Pasai. Berikut nam-nama mereka :

- Sultan Malik al-Saleh (1292 – 1297)
- Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297 – 1326)
- Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1326 – 1345)
- Sultan Manshur Malik al-Zahir (1345 – 1346)
- Sultan Ahmad Malik al-Zahir (1346 – 1383)
- Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383 – 1405)
- Sultanah Nahrasiyah (1405 – 1420)
- Sultan Abu Zaid Malik al-Zahir (1420 – 1455)
- Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1455 – 1477)
- Sultan Zain al-Abidin (1477 – 1500)
- Sultan Abudullah Malik al-Zahir (1501 – 1513)
- Sultan Zain al-Abidin (1513 – 1524)

Pada tahun 746 H atau 1345 Masehi, Ibnu Batuttah, pengembara asal Maroko, mengunjungi Samudra Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ia menggambarkan bahwa penduduk kota di sana berjumlah sekitar 20 ribu jiwa. Di kesultanan tersebut terdapat istana yang ramai, dengan ratusan ilmuwan dan ulama yang menghidupkan aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, sultan yang berkuasa adalah Ahmad Malik al-Zahir (1326 – 1371). Ia mewarisi kekuasaan dari Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297 – 1326)

Berdasarkan berita Ubnu batuttah, juga diketahui bahwa kerajaan samudra pasai ketika itu merupakan pusat studi agama islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri islam. Para ulama tersebut berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus. Ibnu Batuttah menyatakan bahwa islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan di sana, sedangkan kaum muslim di sana mengikuti Mazhab Syafi’i.

Namun demikian, ada sumber lain berisi berita yang cenderung berbeda. Ada dua buah naskah lokal yang ditemukan di Aceh, yaitu idah Haqq fi Mantakat Peureula karya Abu Ishaq Makarani dan Tawarikh Raja-raja pasai. Menurut sumber-sumber ini, kerajaan Samudra Pasai sudah berdiri pada tahun 433 H atau 1042 Masehi. Kerajaan yang dikuasi oleh Dinasti Marah Khair ini terus berjaya hingga tahun 607 H atau 1210 masehi. Pada tahun tersebut baginda raja meninggal dunia dan tidak meninggalkan putra. Setelah itu, negeri Samudra pasai menjadi rebutan antara pembesar-pembesar istana.

Keadaan politik yang tidak stabil itu berlangsung kurang lebih 50 tahun. Kondisi itu membaik setelah naiknya Marah Selu, yang kemudian bergelar Malik al-Shaleh. Berbeda dengan Hikayat Raja-raja pasai yang mengatakan bahwa pada mulanya Mara Selu beragama Hindu kemudian baru masuk islam atas bimbingan syekh Ismail, sumber ini menyebutkan bahwa Marah Selu berasal dari keturunan Raja Islam Perlak. Marah Selu juga dikatakan sebagai anak Makhdum Malik Abdullah Marah Seulangan anak Makhdum Malik Ibrahim Marah Silo anak Makhdum malik Mesir Marah Mersa anak Makhdum Malik Ishak marah Ishak anak Sultan Makhdum Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, Sultan Kerajaan Perlak yang memerintah pada tahun 365 – 402 H atau 976 – 1012 M. Pendukung pendapat ini berpendapat bahwa kerajaan islam pertama nusantara bukanlah Samudera Pasai, melainkan kerajaan Perlak.

Nasib kesultanan Samudera Pasai akhirnya hanya berlangsung hingga tahun 1524. pada tahun 1521, kerajaan tersebut ditaklukkan oleh bangsa Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1524 dan seterusnya, kesulitanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Mughayat Syah merebut kerajaan ini dan mengusir orang-orang portugis. Samudera pasai kemudian berada di bawah pengaruh kesultanan Islam Aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam.

Sumber : http://johan-pahlawan.blogspot.com/2011/07/kerajaan-samudera-pasai.html

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 09 Agustus 2011

Kanduri Apam

Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apam adalah sejenis makanan yang mirip serabi.
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan sebutan Apam Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Provinsi Aceh.

Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).

Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ‘ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng).

Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut Apam Leu’eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.

Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Rajab) sebulan penuh.

Sejarah Khanduri Apam

Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan / menyedihkan hati itu, ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.

Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (di lhok ngon u).

Khanduri Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat, seperti gempa tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung Tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa besar, boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya. Sebagai turut berduka-cita atas keadaan itu, disamping memohon rahmat bagi orang yang telah meninggal tersebut, maka diadakanlah khanduri Apam tersebut.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat Jum’at.



***************
Sumber :Aceh Serambi Mekkah, http://www.tanohaceh.com/?p=1182

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 08 Agustus 2011

"Kanduri Mulod" di Kalangan Masyarakat Aceh

"Salah satu tradisi di Aceh adalah “Kanduri Mulod” yang dilaksanakan setiap tahun. Tradisi tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. 12 Rabiul Awwal. “Kanduri Mulod” di Aceh dilaksanakan pada tiga bulan hijriah yaitu pada bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan Jumadil Awwal (mulod akhe)".

Sebelum Islam masuk ke Aceh, Hindu (mistisme) merupakan agama masyarakat Aceh. Hinduisme sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Aceh tercermin dari aktivitas ritual dan tradisi setempat. Akan tetapi mulai abad ke – 7 H/13 M, Islam menjadi agama mayoritas bagi masyarakat Aceh, dan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (Sultan Malikus Shalih w. 1297) sebagai kerajaan Islam kedua di Aceh menandai bahwa kekuasaan politik di Aceh telah dikuasai oleh masyarakat Islam Aceh.

Sebelum masyarakat Islam Aceh menguasai politik, muslim Islam Aceh merupakan komunitas pinggiran yang berada dibawah pengaruh kekuasaan raja Hindu yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini terlihat dari catatan Marcopolo yang mengunjungi Aceh pada tahun 1292 M. menurut Marcopolo, pada saat ia datang, Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan kecil dan semua kerajaan tersebut menyembah berhala kecuali Pereulak, karena Peureulak selalu didatangi oleh pedagang muslim.

Kerajaan Peureulak inilah yang merupakan kerajaan Islam pertama di Aceh yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H. yang diikuti dengan berkembangnya lembaga pendidikan Islam “ Dayah Cot Kala”. Lembaga pendidikan inlah menjadi dasar pengembangan ilmu keislaman di Aceh yang kemudian terus berkembang menjadi sumber perkembangan Islam di Nusantara.

Islam masuk ke Aceh melalui pedagang Islam dari Arab. Disamping berdagang, mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi yang ketika itu mayoritas beragama Hindu dengan cara berdakwah dan perkawinan.

Pembumian Islam di Aceh oleh bangsa Arab bukan oleh India, Persi dan Gujarat sebagaimana anggapan sejarawan lain dalam kajian ini didasarkan kepada teori yang dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas.

Menurut Al-Attas, masuknya Islam di Nusantara mesti berpegang pada “teori umum mengenai islamisasi Nusantara”, di mana yang menjadi dasarnya adalah karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia yang ada saat ini. Dalam hal ini Al-Attas mengatakan bahwa konsep-konsep, istilah – istilah kunci dalam literatur Melayu – Indonesia, tidak ada hubungannya dengan India, namun berhubungan langsung dengan Arab. Meskipun ada beberapa istilah Persia, namun asalnya Arab juga. Dengan demikian, jelah bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung dari Arab.

Kedatangan pedagang Arab ke Aceh, kalangan sejarawan melaporkan bahwa tidak terlepas dari popularitas kerajaan Sriwijaya yang mengalami masa puncaknya pada abad ke 9 – 10 M di samping pengaruh geografis di mana posisi Aceh sangat strategis bagi pelayaran lintas dunia. Daerah ini menjadi pintu utama perdagangan yang terletak di selat Melaka dan memiliki terusan sempit dalam rute perdagangan laut negeri – negeri Islam ke Cina.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ketika masyarakat Aceh mengalami akulturasi budaya dengan bangsa Arab serta migrasi agama besar – besaran masyarakat Nusantara ke agama Islam pada abad ke – 15 M yang disebabkan oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram, Islam sebagai keyakinan bagi masyarakat semakin kuat pengaruhnya terhadap budaya di Aceh.

Dominasi nilai – nilai Islam dalam budaya lokal Aceh memberitahukan kepada kita bahwa, masyarakat Aceh sangat cenderung kepada Islam kendatipun Islam merupakan agama baru bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana konsep Islamisasi masyarakat Aceh yang dilakukan para pendakwah?. Tentang hal ini, Sayyed Muhammad Naquib Al –Attas dalam buku Islam dan sekularisme melaporkan bahwa Islamisasi kawasan Sumatera (Aceh) dilakukan dengan pendekatan persuasif (sufistik).

Dengan metode tersebut, dakwah dilakukan secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri. Dakwah dilakukan dengan cara Islamisasi budaya yaitu budaya lokal tetap dipertahankan, akan tetapi aspek normatif budaya disesuaikan berdasarkan ajaran Islam.

Di antara budaya lokal yang dipertahankan dan tetap berlaku sampai sekarang di Aceh adalah penggunaan padi, beras, rumputun, tepung, boeh kruet dan lain – lain (item-culture) dalam kegiatan “Peusijeuk (Trait complex culture)” yang mana bahan-bahan tersebut juga digunakan dalam civitas budaya pra-Islam di Aceh. Ketika Islam datang, aktivitas menggunakan bahan – bahan tersebut diIslamkan dengan menerapkan falsafah “tawasshul (culture)” yang merupakan salah satu thariqah (cultural universal) untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah swt. dan upaya mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah anjuran Islam (sistem universal Islam).

Fenomena Islamisasi demikianlah yang menyebabkan antara hukum Islam dan budaya Aceh tidak bisa dipisahkan meskipun bisa dibedakan. Inilah yang melatari falsafah “hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut” yaitu budaya dalam aspek normatif adalah diberdasarkan ajaran Islam. Oleh sebab itulah budaya Aceh dinamakan sebagai budaya Islam.

Dampak yang paling besar dari proses Islamisasi masyarakat Aceh dengan cara persuasif adalah tradisi politik Arab diadopsi oleh kerajaan Aceh khususnya menyangkut dengan gelar penguasa yang digelari sebagai “Sultan” dimana sebelum Islam, gelar penguasa kerajaan digelari dengan gelaran ”raja”.

Berdasarkan rekonstruksi sejarah di atas menunjukkan, Islamisasi Aceh secara sufistik oleh para pendakwah dari Arab telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai bangsa yang inklusif. Hal demikian terlihat dari kebijakan penguasa kerajaan Aceh dengan menggantikan gelaran penguasa dari “raja” menjadi “sultan”. Oleh sebab itu, Islamisasi budaya dan arabisasi politik di Aceh merupakan rujukan penting dalam meneliti keaneka ragaman kebudayaan di Aceh.

Di Aceh, ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwal yang diistilahkan dengan mulod akhe.

Sebagaimana umat Islam di daerah lain melaksanakan Maulid Nabi SAW., masyarakat Islam di Aceh juga menyelenggarakan budaya Islam tersebut. Budaya Islam ini dalam tradisi Aceh dinamakan sebagai“ Kanduri Mulod”.

Bagi masyarakat Aceh, memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. (12 Rabiul Awwal) dalam bentuk “Kanduri Mulod” diselenggarakan di dalam tiga (3) yaitu bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan pada bulan Jumadil Awal (mulod akhe).

“Kanduri Mulod” merupakan salah satu adat (tradisi) yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh. Adat tersebut termasuk dalam salah satu adat memperingati hari besar Islam di Aceh yang meliputi juga tentang peringatan turun Al-Quran (Nuzulul Quran) dan mengenang peristiwa Israk Mi’raj.

Tradisi “Kanduri Mulod” bagi masyarakat Aceh bukan dimaknai dengan makan bersama yang identik dengan hura-hura dan mubazir. Bagi masyarakat Aceh, tradisi ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah SWT. dan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW., serta memperkokoh ukhwah islamiyah untuk menumbuhkan solidaritas dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relavansi dengan tujuan Islam.

Berdasarkan kepada tujuan “Kanduri Mulod”, kegiatannya sarat dengan pendidikan keagamaan. Pendidikan tersebut dilakukan dalam bentuk perlombaan hafalan Al-Quran, perlombaan shalat, cerdas cermat, pidato dan lain – lain yang diperuntukkan untuk anak – anak dan remaja. Kegiatan ini biasanya dilakukan tiga hari sebelum acara “Kanduri Mulod”. Hasil dari perlombaan ini diumumkan serta diberikan hadiah kepada para juara pada acara puncak “Kanduri Mulod” sebelum dakwah akbar dimulai.


Pada hari “Kanduri Mulod”, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Makanan yang disedekahkan masyarakat berupa nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi tiga yang dinamakan dengan “b

ue kulah” beserta lauk pauk mulai dari gulai ayam kampung, gulai kambing, gulai ikan, telur bebek, sayur nangka, buah-buahan, kue dan lain – lain. Makanan – makanan tersebut dibungkus dengan tudung saji berkainkan berenda emas. Tudung saji tersebut berbentuk kerucut dengan warna dominan hijau, kuning, dan hitam yang dinamakan sebagai “Idang Meulapeh”.

Dalam “Kanduri Mulod”, anak - anak yatim dan fakir miskin mendapat pelayanan khusus dari masyarakat sebagai wujud kecintaan mereka kepada golongan tersebut. Bahkan ada dibeberapa daerah di Aceh, masyarakat menyantuni mereka dengan sejumlah uang.

Tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh bersampulkan lantunan shalawat, zikir dan syair - syair mengagungkan Allah SWT. dan mendoakan keselamatan untuk Rasulullah SAW. keluarga beserta shahabat serta untuk seluruh umat Islam yang terdengar indah dan menggugah jiwa yang keluar dari mulut – mulut remaja Dayah dengan suara yang merdu dan nyaring. Suara-suara itulah yang dinamakan dengan “Barzanji” yang merupakan salah satu karakter khusus dalam tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh.

Sedangkan pada malam hari sebagai kegiatan puncak “Kanduri Mulod”, masyarakat mengadakan dakwah akbar yang berisikan tentang sirah nabawiyah untuk dijadikan sebagai ibrah oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan.

Sarana yang dipersiapkan untuk dakwah akbar berupa mimbar penda’i juga tidak luput dari sentuhan seniman – seniman remaja setempat. Bentuk – bentuk mimbar dibuat dalam bentuk binatang, bangunan, pesawat, helicopter, mobil dan lain – lain sehingga suasana semakin semarak.

Bentuk – bentuk binatang yang dibuat berupa binatang – binatang yang terlibat dalam sejarah kerasulan Rasulullah SAW. seperti unta dan laba – laba. Sedangkan mimbar dalam bentuk bangunan dibuat berbentuk bangunan Mesjid dengan atap berbentuk kubah.

Aceh salah satu wilayah yang mayoritas beragama Islam juga merayakan budaya tersebut. Budaya Islam ini dirayakan berdasarkan tradisi Aceh dengan keunikan – keunikan tersendiri.

Idang Meulapeuh yang berisikan beragam makanan khas Aceh, Bue Kulah, Barzanji, aneka perlombaan agama untuk anak – anak dan remaja, santunan anak yatim dan fakir miskin, aneka bentuk mimbar yang unik serta dakwah akbar adalah ciri – ciri khas Aceh dalam memperingat kelahiran Nabi besar Muhammad SAW.

Unsur - unsur itulah yang membedakan tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh dengan daerah dan negara Islam lain disamping dari nama tradisi tersebut yaitu “Kanduri Mulod”


**********************
Sumber : LPI Darul Istiqamah Bireuen, http://www.facebook.com/note.php?note_id=199404173408223

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 06 Agustus 2011

Cut Nyak Dhien, Sosok Perempuan Aceh

Cut Nyak Dhien
Perang Aceh melahirkan perempuan-perempuan perkasa, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames, wanita-wanita besar yang perannya melebihi kaum pria.

Cut Nyak Dhien merupakan satu di antara sederetan nama-nama besar itu. Mereka muncul silih berganti menjadi panglima perang selama 60 tahun perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai Maret 1973 ketika perang dimaklumatkan, sampai Belanda meninggalkan Aceh dengan kekalahannya pada tahun 1942.

HC. Zentgraff, penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai de leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis.

“Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam kancah perang dan melahirkan putranya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.”

Salah satu perempuan Aceh yang sangat disegani Zentgraaff dalam bukunya itu adalah Cut Nyak Dhien, yang tampil memimpin peperangan melawan Belanda pada 1896 setelah Teuku Umar, suami keduanya meninggal. Ia lebih memilih melanjutkan perjuangan dalam rimba secara bergerilya dari pada tunduk pada Belanda. Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan meski ia sudah tua, matanya sudah rabun, tapi semangatnya tidak terpatahkan.

Sebagaimana ditulis oleh Rusdi Sufi dalam buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” keperkasaan Cut Nyak Dhien juga diungkapkan oleh sejarawan Belanda lainnya, M H Szkely Lulafs dalam buku “Tjoet Nja’ Dhien” Ia menilai jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar adalah dorongan halus Cut Nyak Dhien untuk terus berjuang melawan Belanda. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien diwarisi dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang penentang kolonialis Belanda.

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, ayahnya Teuku Nanta Setia merupakan ulee balang VI Mukim bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim. Mereka tinggal di Gampong Lampadang Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien merupakan keturunan seorang perantau asal Minangkabau Sumatera Barat, yang bernama Machoedoem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1733).

Sementara ibunya Cut Nyak Dhien merupakan putri ulee balang terkemuka di Kemukiman Lampageu yang juga wilayah Sagi XXV Mukim. Sebagai putri bangsawan, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya.

Sebagai putri uleebalang, kehidupan Cut Nyak Dhien dipengaruhi oleh gaya hidup bangsawan, tapi pendidikan agama yang didapatkannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal. Cut Nyak Dhien kemudian dijodohkan dengan anak saudara laki-laki dari ibunya. Pria muda itu bernama Teuku Ibrahim, putra dari Teuku Po Amat, ulee balang Lam Nga XIII Mukim Teungkop di Sagi XXVI Mukim.

Menurut Rusdi Sufi, pada saat Belanda menyerang Aceh dalam bulan Maret 1873, suami Cut Nyak Dhien yang dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang melawan agresi Belanda bersama pejuang Aceh lainnya. Meski baru berumahtangga, Cut Nyak Dhien merelakan suaminya untuk terjun ke medan juang. Ia memberi dorongan bagi suaminya dalam setiap peperangan.

Namun, ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Cut Nyak Dien tidak lagi menjadi perempuan yang hanya menyemangati suaminya untuk berperang, tapi ia sendiri yang turun ke garis depan setiap peperangan mendampingi suaminya. Cut Nyak Dhien sangat marah ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman.

Kemarahan Cut Nyak Dhien itu digambarkan oleh sejarawan Belanda M H Szkely Lulafs dalam buku “Tjoet Nja’ Dhien” sebagai berikut:

“Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumun melihat apa yang mengolak-olak itu dari jauh, berserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: "Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, mesjid kita dibakarnya. Mereka menentang Allah subhanahuwata’ala, tempatmu beribadah dibinasakannya, nama Allah dicemarkannya, camkanlah itu! Jangan kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang mengampuni dosa si kafir itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?”

Perang dengan Belanda terus berkecamuk, karena Belanda lebih unggul dalam persenjataan, Cut Nyak Dhien dan suaminya terdesak hingga kemudian berpindah ke wilayah Leupeung. Dari sana perang terus digelorakan. Tapi pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dhien tewas bersama beberapa pengikutnya dalam sebuah pertempuran di lembah Beuradeun Gle Tarom, Kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim.

Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman yang telah menyerah dan menerima kompensasi dari Belanda. Kematian suaminya itu membuat kebencian Cut Nyak Dhien terhadap Belanda semakin memuncak. Ia tampil di depan menggantikan suaminya dalam berperang melawan Belanda.

Sejarawan lainnya, Hazil dalam buku “Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien Sepasang Pahlawan Perang Aceh” mengungkapkan, sangking bencinya Cut Nyak Dhien kepada Belanda, suatu ketika antara sadar dan tidak, Cut Nyak Dhien pernah berucap dan berjanji akan bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut belas atas kematian suaminya.

Dengan gelora batinnya yang dibaluti kebencian terhadap Belanda itu, Cut Nyak Dhien terus memimpin pelawanan. Pada saat yang sama juga terkenal Teuku Umar yang memimpin peperangan melawan Belanda di wilayah barat Aceh. Meski antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah saling mengenal nama, keduanya belum pernah bertemu. Hingga kemudian Teuku Umar dalam suatu peperangan mampun mengalahkan pasukan Belanda yang sebelumnya menewaskan Teuku Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien.

Berita tentang keberhasilan Teuku Umar itu cepat menyebar dari mulut ke mulut pejuang Aceh. Sampai pada suatu kesempatan keduanya bertemu gerilya di belantara Aceh Besar. Pertemuan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar itu digambarkan Hazil sebagai berikut:

“Cut Nyak Dhien memandang pada orang yang berbadan tinggi kurus yang berdiri di depannya itu. Seolah-olah mengharap daripadanya pertolongan guna menjalankan maksudnya dengan sempurna; hati Umar terasuk melihat muka wanita yang lusuh oleh geram dan berang itu. Saudara sepupunya ini berdarah bangsawan yang panas, sikapnya seolah-olah harimau betina yang hendak menyerang si pengacau keluarganya, tapi pandangan mata itu mengisyaratkan pula, bahwa ia seorang perempuan. Kata kesetiaannya membisikkan padanya untuk membantu wanita yang menjanda ini.”

Pada tahun itu juga (1878) beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Perkawinan mereka itu dibicarakan banyak orang, karena keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda. Pasangan ini dinilai sangat cocok untuk memimpin kelanjutan peperangan.

Szekely Lulofs, sejarawan Belanda memberi komentar dalam bukunya tentang pernikahan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar tersebut. Ia menulis:

“…Jika hati Cut Nyak Dhien, sesudah itu dapat pula melekat pada Teuku Umar, maka yang menjadi dasar dan sebab hanyalah satu: Tertariknya hati oleh seorang laki-laki, yang didalam Sabilillah, melawan kafir, hendak dijadikan kawan seikhwan, rekan seperjuangan. Rekan itulah yang akan mengangkat senjata untuknya, penumpas kafir yang sedang menodai tanah airnya. Kawan itulah yang akan menyertainya dalam ia berhasrat hendak mengusir orang kafir dari tanah Aceh! Bukanlah suami baru pengantin yang hilang hendak dicarinya, penghibur hati yang gundah, melainkan ia hendak mencari rekan berjuang, karena ia kehilangan kawan guna menyambung tangan yang puntung, di dalam ia berhasrat hendak menerkam musuhnya.”

Pada saat Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar usianya sudah 30 tahun, sedikit lebih tua dari Teuku Umar. Tapi paras Cut Nyak Dhien masih menggambarkan seorang perempuan jelita yang menarik hati laki-laki. Sementara bagi Teuku Umar, pernikahan itu mempunyai arti khusus baginya. Pengaruhnya di Aceh Besar menjadi bertambah karena Cut Nyak Dhien merupakan wanita berpengaruh di wilayahnya. Pengaruh Teuku Umar semakin besar dengan pengaruh istrinya itu.

Cut Nyak Dhien merupakan istri ketiga Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar telah menikah dengan dua wanita lain yakni Cut Nyak Asiah putri Ulee balang Geulumpang, dan Cut Nyak Meuligoe putri Panglima Sagoe XXV Mukim. Namun, diantara ketiga istrinya itu, Cut Nyak Dhien yang sangat memberi pengaruh padanya.

Cut Nyak Dhien mampu mempengaruhi dan membatasi tindakan-tindakan buruk yang biasanya dilakukan Teuku Umar seperti menghisap candu. Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang anak perempuan yan diberi nama Cut Gambang, yang ketika dewasa kelak dinikahkan dengan Teungku Mayed Di Tiro alias Teungku Di Buket, putra Teungku Chiek Di Tiro.

Pengaruh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien semakin besar, ketika mereka dengan pasukannya berhasil dalam berbagai peperangan melawan Belanda. Puncaknya ketika mereka yang sudah mengungsi ke Montasik, berhasil merebut kembali wilayah VI Mukim bagian dari Sagoe XXV Mukim yang dikuasai Belanda. Wilayah VI Mukim itu sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan ayahnya Cut Nyak Dhien yakni Teuku Nanta Setia. Keberhasilan itu membuat Cut Nyak Dhien bisa kembali

Namun, kekuasaan Cut Nyak Dhien di daerah itu tidak begitu lama karena Belanda dengan pasukan besarnya kemudian mampu merebut kembali daerah tersebut. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar beserta pengikutnya kemudian pindah ke tempat tinggal Teuku Umar di Lampisang yang saat itu belum dikuasai Belanda.



********************
Sumber : http://harian-aceh.com/2011/07/27/cut-nyak-dhien-grandes-dames-van-atjeh

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 04 Agustus 2011

Dara Lamno Si Mata Biru

Dara Aceh
“JIKA jalan-jalan ke Aceh Barat, jangan lupa singgah sejenak di Lamno Jaya. Di sana dapat kita lihat dara Portugis, si dara Barat yang biru mata.”

Kurang lebih seperti itu terjemahan sebait lagu Sabirin Lamno yang diberinya judul Dara Portugis. Lagu itu dikumpulkan dalam sebuah kaset yang diluncurkan oleh Kasgarecord. Oleh karena lagu itu pula, keberadaan dara Portugis di Lamno, Aceh Jaya (dulu masih bergabung dengan Aceh Besar) menjadi makin populer, baik di masyarakat Aceh maupun Indonesia. Bahkan, orang asing yang datang pascatsunami ke Aceh juga bertanya tentang keberadaan keturunan Eropa itu di Aceh Jaya. Apalagi, setelah mengetahui Aceh Jaya adalah daerah terparah kena imbas ie beuna atau tsunami.

Sebelum menelusuri lebih lanjut jejak si mata biru, kita mengingat dulu sejarah Aceh.

Seperti halnya bangsa lain yang mendatangi Aceh, Portugis bertujuan menjalin kerja sama di bidang rempah-rempah. Ketika itu Aceh memang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Namun, lambat-laun negeri berjulukan ‘Seramoe Makkah’ ini jadi jajahan. Lantas, apa yang dapat kita petik dari peninggalan sejarah jajahan tersebut setelah Aceh merdeka?

Sebelum sampai ke jawaban pertanyaan itu, tanpa bermaksud mengungkit perih, duka-lara, dan dendam yang tercerabut-berpagut hingga kini, saya mencoba memaparkan sebuah sifat keacehan yang dimiliki orang Aceh hingga kini. Karakteristik keacehan itu kerap disematkan pada narit maja Aceh. Salah satunya, sipeut ureueng Aceh hanjeut teupeh. Meunyo teupèh, bu leubèh hana meuteumè rasa; meunyo hana teupèh, padé bijèh jeut tarasa. Apabila di-Indonesiakan, lebih kurang memiliki makna orang Aceh tidak boleh disinggung (hatinya). Kalau tersinggung, nasi basi pun tak diberikan; kalau tidak disinggung, bibit padi pun boleh dimakan.

Mungkin, karena sifat itulah, orang Aceh gampang dijajah, karena orang Aceh begitu mudah akrab dengan orang asing saat hatinya sudah disentuh lembut. Bermula menyentuh dengan sangat lembut hati orang Aceh, bangsa-bangsa pendatang mencoba menjalin ikatan kerja sama perdagangan dengan bangsa Aceh. Kemudian, orang Aceh yang sudah tersentuh hatinya, dengan gampang dan gamblang menyerahkan yang dia punya kepada bangsa pendatang tadi. Saat itu, tanpa disadari Aceh telah dijajah. Maka, ketika telah sadar dirinya dijajah, orang Aceh yang lebih senang menyebut dirinya ureung Aceh akan bangkit dengan segala daya dan upaya. Saat seperti inilah, keacehan itu timbul kembali, yakni daripada hidup di bawah kaki penjajah-meski diberi pangkat dan harta berlimpah-lebih baik mati bersimbah darah atau mati berkalang tanah. Hal ini juga dinukilkan dalam narit maja Aceh: daripada juléng göt buta; daripada capiek göt patah, daripada singèt göt rhô meubalék (daripada juling lebih baik buta, daripada pincang lebih baik patah, daripada miring lebih baik tumpah semua). Yang lebih tegas lagi, daripada na göt hana (daripada ada, lebih baik tidak ada). Maka dari itu, perjuangan dengan gencar melawan penjajah dilakukan ureueng Aceh hingga akhirnya penjajah lari pulang tunggang-langgang ke asalnya, mengakui keperkasaan Aceh. Lantas, setelah penjajah itu pulang ke asalnya, apa yang tersisa dari sebuah peninggalannya?

Sebut saja salah satu penjajah Aceh adalah bangsa Portugis. Menurut catatan sejarah, bangsa Eropa itu menjajah Aceh terutama di pantai barat Aceh, tepatnya Lamno.

Seperti bangsa Eropa penjajah lainnya (Belanda dan Inggris), Portugis juga memainkan taktiknya dengan mencoba merebut hati orang Aceh. Pembauran kedua etnis ini pun terjadi. Orang Aceh ada yang dinikahi oleh orang Portugis, lalu mempunyai keturunan. Setelah Portugis berhasil dikalahkan Aceh hingga kembali ke asalnya, yakni Eropa, keturunan Portugis itu ada yang tertinggal di Aceh. Kendati ada orang Aceh yang dinikahi oleh bangsa Barat itu atas nama cinta, istri dan keturunannya tetap ditinggalkan di Aceh. Peninggalan inilah yang membuat Lamno atau disebut juga dengan Nanggroe Daya, terkenal dengan si mata biru atau dara Portugis. Tak ayal, sebagian orang berpendapat, jika ingin melihat bangsa Barat turunan, datang saja ke Lamno, di samping ada pantai dan pemandangan yang indah di situ.

Umumnya, orang-orang mata biru ini sangat mirip dengan orang Eropa. Bukan hanya matanya yang biru, kulitnya juga putih serupa kulit orang Barat.

Seiring waktu yang terus berjalan, perkawinan antarsuku semakin meluas. Keturunan si mata biru pun menikah dengan orang Aceh dari daerah lain dan mungkin dengan bukan orang Aceh. Pertanyaannya sekarang, masihkah ada keturunan Portugis tersebut di Aceh?

Beberapa waktu lalu, saya dan teman saya, Erwin, pergi ke Lamno, ke tempat keturunan Portugis itu menetap. Di sana, saya mencoba mengamati sekeliling, baik orang yang melintas maupun yang duduk di rumah atau di warung kopi. Heran! Tiga puluh menit menelusuri Lamno, belum saya temukan juga si mata biru.

Imeum mukim Lamno, Teungku Tantawi, yang saya temui di sebuah warung kopi, menunjuk sebuah rumah. “Rumah itu ada mata birunya,” kata Tantawi.

Saya menoleh ke arah yang ditunjuk. Di serambi depan rumah itu terlihat empat orang anak kecil. Kalau boleh ditaksir, usia mereka masih Balita (di bawah lima tahun). “Lihat saja keempat anak itu. Yang nomor dua dan nomor tiga berkulit putih, rambutnya juga seperti bule. Matanya biru. Sementara anak tertua dan terbungsu, persis seperti keturunan Aceh asli kan?” tutur Tantawi.

Menurut lelaki 70 tahun itu, keturunan mata biru di Lamno banyak hilang saat musibah tsunami. Pasalnya, tempat tinggal mereka persis di tepi laut. Di samping itu, perkawinan antara keturunan mata biru dengan orang-orang pendatang semisal orang Aceh dari daerah lain, juga menjadi salah satu penyebab keturunan Portugis ini berkurang.

Tempat-tempat yang banyak dihuni komunitas mata biru, seperti daerah Kuala Onga, Kuala Daya, Lambeuso, dan Keuluang, merupakan tempat yang disebutkan oleh Tantawi sebagai kawasan imbas tsunami paling parah.

“Nyan ke nyan nyang tinggai, ka hana asli lé. Kadang-kadang na aneuk mata biru, ôkjih itam. Leuh nyan, na cit nyang hi ureueng Aceh mamandum rupajih (Itulah yang tersisa, sudah tidak asli lagi. Terkadang ada anak yang matanya biru, rambutnya hitam, ada pula yang mirip orang Aceh semua wajahnya),” katanya.

“Saya ingat, ada satu orang yang tinggal di Minisaweu. Di sana ada seorang lelaki tua yang kerap disapa Haji Tet, satu lagi di Lamme. Hanya itu yang tersisa. Ya, itu yang saya ketahui,” ujar Tantawi. “Lainnya, habis diambil tsunami.”

Hampir senada dengan Tantawi, camat Lamno, Jaddal Husaini, menuturkan bahwa keturunan bangsa Eropa itu sebelum tsunami dapat ditemui di beberapa wilayah, yakni desa Lambeuso, Alue Mie, Jeumarem, Janggot, Ujong Uloh, Kuala Ongan, dan Mukhan. Namun, setelah tsunami, kata Jaddal, keturunan itu mulai sulit ditemukan. Kendati demikian, katanya, pihak kecamatan tidak tinggal diam demi menjaga dan melindungi mereka. Jaddal mulai melakukan pendataan penduduk pascatsunami. Hanya saja, menurut Husaini, sulit melakukan pendataan terhadap si mata biru.

“Masalahnya adalah ketika kita masuk ke kampung-kampung tempat keturunan Portugis itu, mereka lari. Entah mengapa mereka selalu menghindar saat hendak didata,” tutur Husaini, setengah bertanya.

SELEPAS berbincang-bincang dengan Jaddal, saya dan Erwin kembali melanjutkan perjalanan. Matahari nyaris tepat di atas kepala kala itu.

Kami menyusuri jalan setapak dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terlihat sebuah jambô (gubuk). Kami mendekatinya. Jambo itu berarsitek kayu, beratap daun rumbia. Dindingnya hanya setinggi lutut. Tak ayal, menikmati secangkir kopi Aceh sembari dibelai semilir dari lautan pantai Barat menjadi sebuah kenyamanan, apalagi di hari terik.

Di warung kopi kecil itu ada sekitar delapan orang, tiga di antaranya saya taksir sudah uzur. Kepada bapak-bapak itu saya bertanya tentang keberadaan si mata biru. Jawabannya persis sama seperti apa yang sudah dikatakan imeum mukim dan camat. “Kurang tahu, nyaris hilang setelah tsunami,” itulah jawaban mereka.

Saat kami sedang asyik menikmati angin lembut siang itu sambil berbincang ringan, dari kejauhan terlihat seorang lelaki jangkung mendekat.

“Sama dia saja kalian tanya kalau memang mau mendapatkan informasi lebih banyak tentang keturunan Portugis,” kata Saleh, salah seorang pengunjung warung tersebut.

Saya memperhatikan dengan seksama lelaki yang ditunjuk Saleh. Semakin lama, lelaki itu semakin mendekat. Agaknya dia juga hendak singgah di warung ini.

Dia kemudian duduk dengan menghadap ke arah laut. Namanya Jamaluddin. Dia mengatakan memiliki tinggi badan 185 sentimeter. Umurnya belum terlalu tua, “Baru empat puluhan,” katanya, sembari tersenyum.

Bagian hitam matanya terlihat kebiru-biruan, sedangkan yang bagian putihnya terlihat agak coklat. Sekilas dia seperti Jose Maurinho, mantan Manajer Klub kaya di Inggris, Chelsea. Sungguh, kulitnya yang putih kemerah-merahan memperlihatkan dengan jelas bulu-bulu di tangan Jamaluddin. Entah karena kulitnya yang putih itu, dia disapa akrab dengan sebutan “Bang Puteh”.

Bang Puteh adalah salah seorang keturunan Portugis. Kendati dia merupakan keturunan bangsa Eropa itu, dia mengaku tidak tahu benar tentang silsilah keluarganya. Dia juga tak hapal kebiasaan Portugis.

“Saya hanya memegang adat-istiadat Aceh sebagai pegangan saya di sini,” ucapnya.

Bang Puteh juga mengatakan bahwa tidak semua anaknya memiliki ciri sama. Kata dia, dua mirip orang Aceh asli, dua di antaranya mirip bangsa Portugis.

“Hal ini sama saja dengan empat orang anak yang kalian katakan sudah melihatnya di Desa Leupe. Anak saya, Rauzatul Jannah, enam tahun, dan Nurul Khamiran yang masih 2,5 tahun, sangat mirip dengan orang Barat. Tapi, dua lagi, yang tertuanya, sangat kental dengan karakter orang Aceh pada umumnya,” ujar Bang Puteh.

Dari Bang Puteh, saya mengetahui bahwa keturunan Portugis yang lari saat didata seperti kata camat tadi sebenarnya bukan karena takut. “Mereka hanya malu. Masalah malu, tidak jelas, apakah karena mereka tidak mirip dengan orang Aceh kebanyakan atau karena apa,” kata Bang Puteh, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saya teringat komentar seorang mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, yang saya jumpai belum lama ini. “Orang-orang keturunan Portugis itu terkesan hanya mau bergaul dengan dia dia aja. Itu makanya susah menelusuri tentang mereka,” kata Farah Fitriah, mahasiswa angkatan 2006 di Jurusan Bahasa Indonesia itu, saat saya tanya tentang mata biru di kampungnya.

Lain Farah, lain pula pendapat Teungku M. Yahya Wahab. Dia adalah salah seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Jaya. Saya bertemu dengan Yahya saat dia mengunjungi pengungsi koran tsunami di Lamno tahun 2005 lalu. Yahya juga asal Lamno.

“Dara Portugis di Lamno pada umumnya berparas cantik. Namun, mereka pemalu. Jika bertemu dengan orang di luar komunitas mereka, apalagi yang belum mereka kenal sama sekali, mereka cenderung sembunyi.”

Menurut Yahya, karena sifat pemalu itulah membuat mereka terkesan eksklusif. Hal ini pula, kata dia, yang menyebabkan komunitas Portugis di Lamno itu lebih senang menikah dengan sesama komunitas mereka. “Namun, belakangan sudah ada juga di antara mereka yang mau dipersunting orang luar,” lanjut Yahya.***
Pesisir Pantai Aceh

Gunong Geuerute di Pesisir Pantai



dikutip dari sebuah thread di forum, http://acehline.coolbb.net/t368-si-mata-biru
pengirim : Zulfah

[+/-] Selengkapnya...

Teuku Umar Djohan Pahlawan

1. Riwayat Hidup
Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.

Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.
Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.

Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya.

Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda.

Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh.

Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.

Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.

2. Pemikiran
Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut.

Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.

3. Karya
Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.

4. Penghargaan
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.



****************
Sumber : Melayu Online

[+/-] Selengkapnya...

Kebudayaan Aceh



Rumoh Adat Aceh
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.

Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.

Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.

Dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka saya mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.

A. LETAK

Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.

B. KEHIDUPAN MASYARAKAT

1. Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.

Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.

Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.

Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.

2. Sistem Kekerabatan

Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).

Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.

Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.

3. Sistem Pelapisan Sosial

Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.

Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat, yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.

Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan kedua adalah orang­orang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.

Senjata Tradisional Aceh
C. SISTEM KEMASYARAKATAN

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).

Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa (Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

D. RELIGI

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.

E. BAHASA

Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.

Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.

Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.

Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.

Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".

F. KESENIAN

Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.

Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.

G. PERALATAN

Persenjataan

Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.

H. SEJARAH

Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.

Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.

Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana. -

Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).

Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.

Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.

Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.

Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.

Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.

Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.

HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK

Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana.


**************************

Sumber : http://andriansaputra.multiply.com/journal/item/21/SEJARAH_KEBUDAYAAN_ACEH

[+/-] Selengkapnya...

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH BARAT

Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke XVI Masehi atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun (1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.
  Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke XV M telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.
   Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.
   Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).
   Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu :
1.     Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;
2.   Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;
3.    Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan;
4.   Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai;
5.    Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan;
6.    Singkil dengan ibukota Singkil.
   Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling mejadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.
    Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan mejadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan.
   Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.
Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.
Selanjutnya pada tahun 2002 kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun 2002.

Kantor Bupati Aceh Barat

Pesisir Pantai Aceh Barat

Sumber : http://acehbarat.tripod.com/rah.html

[+/-] Selengkapnya...