Subscribe:

Ads 468x60px

Featured Posts

  • Mesjid Agung Baitul Makmur Meulaboh

    Baitul Makmur Mosque located Seuneubok area of Aceh Barat, which is the largest mosque in Meulaboh. This mosque used as the main mosque, because the room is so large that many people to accommodate residents of Meulaboh...

  • Pesisir Pantai Meulaboh

    Perjalanan jauh melintasi wilayah timur ke barat, dimana awal mula gempa tsunami sebagian besar jalur barat selatan Aceh rusak parah dihantam gempa dan tsunami...

  • Tari Rateb Meusekat

    Wisatanesia.com-Tari Rateb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh yang berasal dari Aceh. Nama Ratéb Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu rateb asal kata ratib artinya ibadat dan meuseukat asal kata sakat yang berarti diam...

  • Pondok Pesantren Modern

    Pondok Pesantren Nurul Falah yang terletak di dalam perkarangan Mesjid Agung Baitul Makmur yang merupakan salah satu wadah pendidikan agama di Meulaboh, Aceh Barat.

  • Spirit of Traditional Dance

    Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari unsur [tarian meuseukat.]...

  • Monument to Memorize Teuku Umar

    At the lip of the Meulaboh beach, there is a monument to memorize Teuku UMAR, a martyr who striving force for Aceh indendencies, but after tsunami in bright sunday morning December 26, 2004 next day after christmast, it was gone away wipe by a big wave...

  • Makam Pahlawan Teuku Umar

    Makam Pahlawan Teuku Umar terletak di Desa Meugo Rayeuk, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Jarak tempuh sekitar 35 km dari Kota Meulaboh, untuk menuju Makam Pahlawan Teuku Umar anda bisa menggunakan mobil, sepeda motor, ataupun angkutan umum.

  • Panen Durian

    Seorang bocah panen durian yang runtuh di kebun belakang rumah kakeknya di Gampong Cekal, Kecamtan Timang Gajah, Bener Meriah. Harga satu durian antara Rp5- Rp15 ribu per buah.

  • TPM Tanyoe

    Lembaga pendidikan Non-formal yang terletak di Desa Lambirah, Sibreh, Aceh Besar. TPM yang digagas pada bulan juli lalu ini didirikan oleh awak Lambiwood Community, para muda yang ingin sedikit berguna.

Saweu Gampoeng Tanoeh Geutanyoe Seuramoe Mekkah

Rabu, 26 Oktober 2011

Inikah Kilometer Nol itu ?

Boleh jadi lagu Dari Sabang Sampai Merauke gubahan R. Surarjo merupakan salah satu lagu legendaris bagi masyarakat Indonesia. Lagu ini menjadi lagu yang selalu diajarkan oleh guru Taman Kanak-kanak ataupun guru Sekolah Dasar kepada murid-muridnya. Secara tidak langsung lagu ini menggambarkan rentang wilayah geografis Repubik Indonesia yang membentang dari Sabang, sebuah kota di ujung Sumatra, hingga Merauke, sebuah kota di ujung Timur Pulau Papua.
Berbicara tentang bentangan wilayah Republik Indonesia, akan muncul satu pertanyaan tentang keberadaan titik nol Indonesia. Merujuk pada lagu di atas, akan diketahui bahwa titik nol Indonesia terletak di wilayah Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Sabang merupakan kota kepulauan dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Oleh karena itu, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Di pulau ini terdapat Tugu Kilometer Nol sebagai tanda titik awal penghitungan kilometer di Indonesia.


Berbicara tentang bentangan wilayah Republik Indonesia, akan muncul satu pertanyaan tentang keberadaan titik nol Indonesia. Merujuk pada lagu di atas, akan diketahui bahwa titik nol Indonesia terletak di wilayah Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Sabang merupakan kota kepulauan dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Oleh karena itu, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Di pulau ini terdapat Tugu Kilometer Nol sebagai tanda titik awal penghitungan kilometer di Indonesia.

Tugu Kilometer Nol merupakan sebuah bangunan yang menjulang setinggi 22,5 meter dan terletak pada ketinggian 43,6 m di atas permukaan laut (dpl). Tugu ini berbentuk lingkaran berjeruji dan semua bagiannya dicat dengan warna putih. Bagian atas lingkaran ini menyempit seperti mata bor. Di puncak tugu bertengger patung burung garuda menggenggam angka nol. Sebuah prasasti marmer hitam menunjukkan posisi geografis tempat ini: Lintang Utara 05 54‘ 21,99″ Bujur Timur 95 12‘ 59,02″. Selain itu, di dinding bangunan juga tertempel prasasti peresmian tugu yang ditandatangani oleh Try Sutrisno saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Prasasti itu ditandatangani di Banda Aceh, ibukota NAD, pada 9 September 1997.

Sebelumnya terdapat tugu lain yang diyakini sebagai ‘kilometer nol‘ Indonesia. Namun, setelah dilakukan penelitian oleh pakar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS), lokasi itulah yang kemudian diputuskan sebagai titik nol Indonesia. Hal itu tertulis dalam prasati lainnya yang ditandatangani oleh BJ Habibie yang menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BPPT, pada tanggal 24 September 1987. Oleh karena itu, tugu yang lama dinyatakan sebagai kilometer tujuh Indonesia.

KM 0 Terletak di areal Hutan Wisata Sabang, membuat perjalanan menuju lokasi Tugu Kilometer Nol menjadi rekreasi tersendiri. Untuk mencapai tempat ini para wisatawan akan melewati kaki bukit dan tebing dengan pemandangan yang indah. Hutan tropis di hutan lindung masih terpelihara dengan baik, sementara di sisi kanan jalan, birunya air laut terlihat dengan jelas. Jika Anda beruntung, terkadang ada sekawanan monyet yang bergelantungan dari pohon ke pohon, bahkan mereka juga sering berdiri di tengah jalan serta menunggu para wisatawan melemparkan makanan.

Sesampainya di lokasi akan terlihat sebuah bangunan putih berbentuk bundar yang terdiri dari dua lantai. Untuk mencapai bangunan tersebut Anda harus menaiki beberapa undakan. Di lantai pertama terdapat sebuah pilar dan sebuah prasasti yang ditandatangani Try Sutrisno. Naik ke lantai dua, Anda akan melihat birunya langit dan hijaunya pepohonan, karena lantai ini beratap terbuka. Di lantai dua ini terdapat dua prasasti. Prasasti pertama menjelaskan bahwa penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia ini diukur oleh pakar BPPT. Sedangkan prasasti kedua menjelaskan posisi geografis tugu itu dalam angka-angka.

Di seberang jalan tugu tersebut, terdapat sebuah batu penanda jarak berwarna kuning seperti yang biasa terlihat di pinggir jalan. Bedanya di batu tersebut tertulis angka nol. Hal yang tak lazim dijumpai pada batu penanda jarak lainnya. Di sekeliling tugu tersebut terdapat pepohonan yang tertata rapi. Anda dapat duduk di halte yang tersedia di tempat itu, kemudian melayangkan pandangan ke arah Lautan Hindia. Berhubung Pulau Weh merupakan daratan paling ujung, maka tidak akan ada pulau pengalang pandangan hingga jauh ke laut lepas. Pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali dengan latar laut membiru dan suara angin menderu.

Menjelang senja, wisatawan yang berkunjung ke tugu ini cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan mereka ingin menyaksikan proses terbenamnya matahari. Bola matahari berwarna jingga, kemudian berubah menjadi merah menyala di antara awan tipis, lantas tenggelam ke laut yang juga menjadi merah. Setelah itu, pemandangan akan berubah menjadi gelap, dan hanya ada kerlip bintang di bentangan luas langit malam.

Berada di kilometer nol Indonesia akan memberikan sensasi yang berbeda bagi Anda. Sebagai bukti bahwa Anda pernah berada di kilometer nol Indonesia, Anda dapat meminta piagam ke Dinas Pariwisata Kota Sabang. Jika Anda telah puas menikmati pesona Tugu Kilometer Nol Indonesia, Anda dapat melanjutkan perjalanan ke obyek wisata lain yang ada di dekat tugu ini. Obyek wisata itu antara lain: Pantai Iboih, Pantai Gapang, Pantai Kasih, Pantai Pasir Putih, Pantai Sumur Tiga, Pantai Anontam, Pantai Tapak Gajah atau Pantai Lhung Angen. Bagi Anda yang memiliki waktu luang Anda juga bisa mendatangi Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Rondo dan Pulau Seulako. Semua keindahan obyek wisata tersebut akan makin membuat Anda jatuh cinta dengan kota di ujung Barat Indonesia ini.

Tugu Kilometer Nol berada dalam areal Hutan Wisata Sabang, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam, Indonesia.

Tugu ini terletak sekitar 30 km ke arah Barat dari Kota Sabang. Untuk mencapai Tugu Nol Kilometer Anda dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, dan akan memakan waktu sekitar 1-1,5 jam perjalanan. Bagi Anda yang berangkat dari Banda Aceh, Anda dapat naik kapal cepat Bahari Express dari pelabuhan Ulee Lheu kemudian turun di pelabuhan Baloohan Sabang. Tiket Bahari Express seharga Rp50.000,00 untuk non AC, Rp 60.000,00 untuk AC dan Rp70.000,00 untuk VIP. Dari pelabuhan Baloohan Anda bisa naik taksi seharga Rp50.000,00 per orang atau mencarter mobil seharga Rp250.000 untuk sekali jalan sampai ke lokasi

Sebagai sebuah obyek wisata, Tugu Kilometer Nol sudah memadai. Di sekitar tugu terdapat pepohonan yang berjajar rapi sebagai pelindung dari sengat matahari saat duduk di halte. Bagi Anda yang ingin bermalam, Anda dapat menginap di losmen atau penginapan yang ada di Chapang, sekitar 7 kilometer dari Tugu Kilometer Nol. Anda dapat menyewa cottage dengan kamar mandi dan ruang tamu seharga Rp300.00,00 sd Rp.500.00,00 per malam



Sumber : http://acehculture.co.id

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 11 Oktober 2011

"TPM Tanyoe" Masa Depan Generasi Aceh

Senyum Anak Aceh
Taman Pendidikan Masyarakat (TPM) Tanyoe adalah sebuah lembaga pendidikan
Non-formal yang terletak di Desa Lambirah, Sibreh, Aceh Besar. 
TPM yang digagas pada bulan juli lalu ini didirikan oleh awak Lambiwood Community,
para muda yang ingin sedikit berguna.

TPM Tanyoe ini adalah sebuah lembaga yang berdiri sendiri (independen), tidak berada di bawah instansi mana pun dan tidak juga berada di bawah sokongan kepentingan politik apa pun. Namun, TPM ini berada dibawah binaan para tetua gampong dan tokoh masyarakat yang ada di Lambirah dan sekitarnya, yaitu Camat Sukamakmur, Imuem Mukim Sungai Limpah, Keuchik Gampong Lambirah, Imuem Menasah dan Tuha peut serta Tuha Lapan.

TPM ini terdiri dari sebuah pustaka sederhana yang terletak di komplek Dayah Lambirah. Pustaka sederhana ini adalah hasil dari peluh dan kerja keras awak Lambiwood Community, dibangun murni dari nol dan dengan hanya bermodalkan semangat, keprihatinan, kenekatan dan dana pribadi.
Adik-adik senyum ya....!!!
Gedung pustaka ini yang juga berperan sebagai posko pengurus TPM, adalah gedung peninggalan era pasca Tsunami 2004 dulu. Gedung tersebut dulunya adalah gedung sementara Sekolah Dasar Negeri Lambirah, karena gedung SDN Lambirah yang sebenarnya masih dalam proses rehabilitasi, setelah diluluhlantakkan oleh gempa. Nah, setelah gedung SDN Lambirah selesai direhab dan layak untuk ditempati kembali, gedung SDN sementara ini terbengkalai. Tak ada yang menggunakannya kecuali hanya dua ruang saja, yang digunakan sebagai gedung Taman Kanak-kanak Desa Lambirah. Namun lagi-lagi, karena jumlah murid TK yang sangat minim, satu ruang saja sudah bisa dikatakan kelewat besar, maka ruang satunya lagi juga ikut terbengkalai. Tak terpakai sama sekali, hingga nyaris rubuh. Oleh karena itu, atas inisiatif teman-teman awak Lambiwood Community, ruang yang tadinya akan digunakan untuk TK tersebut, disulap menjadi gedung TPM Tanyoe, numpang tuk sementara waktu, begitu lah kir-kira. Sebab gedung yang satunya lagi, yang tidak diambil alih untuk TK, terlalu tidak mungkin untuk direhab, jika hanya dengan menggunakan dana pribadi, keadaannya sudah sangat rusak.

Sungguh, atas nama segala sesuatu yang dirintis dengan dana pribadi pastinya memiliki kekurangan, dalam hal fasilitas di sana-sini. Pustaka TPM Tanyoe hanya memiliki satu Rak buku dua muka, beberapa buku dan beberapa hiasan dinding anak-anak. Rak buku murni diolah sendiri oleh pengurus cowok TPM Tanyoe, dana untuk beli papan didapatkan dari “meuripee” dan juga sumbangan dari beberapa teman lain diluar komunitas yang baik hati. Beberapa buku yang ada merupakan hasil dari sumbangan teman-teman, begitu juga dengan hiasan dindinngnya. Khususnya yang digerakkan oleh FLP wilayah Aceh dan Komunitas Kutu Buku, dalam program One Man One Book. Mereka berhasil mengumpulkan sekitar 300 lebih buku untuk TPM ini. (sungguh terimakasih yang tiada terkira). Inilah sekilas, tentang fasilitas yang sekarang kami miliki, kami akan terus berupaya mengembangkannya menjadi lebih baik. Kami sangat berharap uluran tangan dari semua pihak.

Salah seorang guru TPM Tanyoe sedang bercengkrama dengan anak-anak TPM
Visi dan misi TPM Tanyoe adalah untuk mencerdaskan anak-anak negeri, khususnya yang berada di daerah pelosok, di Desa Lambirah. Harapan kami, anak-anak yang belum dirangkul oleh fasilitas dan motivasi yang memadai ini juga dapat menikmati indahnya pendidikan, layaknya yang didapatkan oleh anak-anak kota. “Paling tidak, mereka dapat terus bermimpi, mimpi yang baik pastinya. Serta, berjuang sekuat tenaga untuk meraih mimpi-mimpi itu.” Ungkap Husnul Khatimah (19), Perintis Lambiwood Community, sekaligus Dirut TPM Tanyoe.

Cita-cita kami, pengurus TPM Tanyoe, TPM ini tidak hanya berada di tingkat Desa Lambirah, dan cuman menawarkan senyum indah untuk anak-anak yang ada di sana. Akan tetapi, kami sungguh berkeinginan untuk merangkul semua anak-anak yang berada di pelosok Sibreh, Aceh Besar, hingga ke seluruh pelosok Aceh, tak ayal hingga seluruh Indonesia. Saling berbagi kebahagian, khususnya buat anak-anak adalah sebuah harapan yang sungguh membuncah di dada kami. Membayangkan anak-anak yang berada di seluruh pelosok Aceh, dapat tertawa senang menikmati masa kecilnya dan belajar sambil bermain, layaknya yang sedang dirasakan oleh bocah-bocah Lambirah, sungguh tiada Tara senangnya bagi kami.

Untuk saat ini, kegiatan TPM Tanyoe mencakup kegiatan belajar mengajar, mulai dari pelajaran sekolah, mencakup Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, dan Matematika. Keagamaan, mencakup Akhlak, SKI, Fikih, Tahsin, belajar Iqra (untuk anak-anak yang masih belum bisa baca Qur’an dengan lancar), Tahfiz juz 30 dan juz 1(untuk yang sudah lancar), dan pelajaran karakter. Kesenian, mencakup Tarian tradisional Aceh, Rebana, Nasyid, Pantomim, dan drama.

Maka dari itu, kami selaku pengurus TPM Tanyoe, sangat menghimbau kepada semua pihak untuk bahu membahu, saling bergandengan tangan, bekerja sama demi mewujudkan cita-cita mulia ini.



Sekecil apa pun bantuan teman-teman, pasti sungguh berguna bagi kami. Terimakasih banyak bagi semua pihak yang telah membantu kami. Bantuan, bimbingan, dukungan dan doanya selama ini, sungguh berguna bagi kami. Semoga Allah meridhai kerja keras kita ini, hingga kita semua dapat menjadi orang yang berguna dan bahagia.

Amin…

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 07 Oktober 2011

Misteri Lembah Geurutee

Hamparan pasir putih membentang luas sepanjang pantai Kuala Daya. Riak ombak dan hembusan angin yang mengayunkan pohon kelapa, memecahkan kesunyian kawasan teluk di kaki gunung Geurutee itu. Lamno, sebuah kota kecil di Kabupaten Aceh Jaya.
Pemandangan alam dari puncak Gunong Geurutee

Berjarak sekitar 75 kilometer dari Banda Aceh, Lamno menyimpan sejuta sejarah. Sejak dahulu, Lamno terkenal sebagai kawasan asal gadis berkulit putih, bermata biru, berambut pirang mirip bangsa Eropa. Mereka dipercaya merupakan keturunan prajurit Portugis yang terdampar di kerajaaan daya di abad ke-15 silam.

Sejarah mencatat, sekitar tahun 1492-1 511, kapal perang Portugis pimpinan Kapten Pinto yang kalah perang dengan Belanda di Selat Melaka, mengalami kerusakan saat berlayar dari Singapura. Kapal ini terdampar di pantai Kerajaan Daya. Raja Daya tak ingin membiarkan kapal itu lari dan mendarat tanpa izin di Kuala Daya. Laskar Rimueng Daya menghujam tembakan ke kapal itu dengan meriam besar hingga tenggelam.

Semua awak kapal dan tentara Portugis akhirnya menyerah dan meminta perlindungan. Sambil menunggu bala bantuan armada kapal dari negerinya menjemput mereka, pasukan Portugis menjadi tawanan. Awak kapal dikarantina dalam satu kawasan berpagar tinggi.

Hari demi hari mereka terus menunggu pertolongan. Tapi bantuan tak kunjung datang. Mereka pun menyerah pada Raja Daya. Raja Daya yang terkenal arif itu membebaskan mereka tanpa syarat harus menjadi budak. Tentara Portugis itu kemudian berbaur dengan penduduk Lamno. Mereka diajarkan bertani, berbahasa, dan diperkenalkan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Para mantan tawanan perang itu kemudian juga dibolehkan untuk mempersunting gadis pribumi, tentu setelah memeluk islam.

Menurut versi lain asal-usul "orang putih" di Lamno, mereka bukan terdampar, melainkan sengaja datang berdagang dengan penduduk Negeri Daya. Mereka membawa pelbagai barang berharga, mulai dari porselen hingga senjata dan mesiu. Balik ke negerinya, mereka mengangkut rempah-rempah dan berbagai hasil bumi. Kala itu Daya merupakan bandar dagang yang ramai di Aceh. Para saudagar berdatangan dari India, Arab, Cina, dan Eropa tentu saja.

Hubungan baik antara Raja Daya dan para saudagar berkulit putih, yang tersiar sampai jauh, membuat gusar Raja Kerajaan Lamuri di Banda Aceh, Ali Mugayat Syah. Ali, yang ingin Pahlawan Syah memutuskan hubungan dengan pedagang Portugis, yang menurut dia kafir, lalu menyerang dan menguasai Daya.

Dialah yang kemudian menawan "orang-orang putih" itu di Meunanga. Dua tahun kemudian, Ali menguasai dua kerajaan lain: Pase dan Pedir (Pidie), lalu mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam dan mengangkat dirinya sebagai raja yang pertama (1511-1530).

Melihat lokasi Lamno yang tak terlalu jauh dari jalur dagang Portugis—Atlantis, Selat Malaka, Pasifik. cerita tentang Daya sebagai pelabuhan dagang nan ramai di Aceh cukup masuk akal. Tempat itu mudah ditemukan.

Marco Polo melakukan itu pada 1292 dalam pelayarannya dari Cina menuju Persia, seperti bisa disimak dalam bukunya, Far East. Antara lain, Marco Polo mengatakan pernah berlabuh di enam bandar di sebelah utara Sumatera, termasuk Ferlec, Samudera, dan Lambri atawa Lamuri.

Catatan lebih tua bahkan menyebut perdagangan global di Aceh telah dimulai sejak abad ke-6 M. Para pedagang Cina, misalnya, meninggalkan catatan-catatan tentang sebuah kerajaan di bagian utara Sumatera, yang mereka beri nama Po-Li. Wilayah ini juga disebut-sebut dalam catatan kuno yang ditemukan di India, berasal dari awal abad ke-9 M.

Perdagangan di bandar-bandar Aceh bertambah maju setelah Portugis mengalahkan Malaka pada 1511, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Takut pada Portugis, para pedagang dari Asia dan Arab mulai menghindari Selat Malaka dan beralih ke pelabuhan-pelabuhan di Aceh. Sejak itu, dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di wilayah itu menguat, dan mencapai puncaknya antara 1610 dan 1640. Karena hidup dalam komunitas terbatas selama beratus-ratus tahun, darah Portugis masih mengalir dalam diri sebagian masyarakat Lamno, terutama yang menetap di Kuala Daya dan Lambeuso serta Ujong Muloh.

Selain identik sebagai daerah asal gadis bermata biru, Lamno juga dikenal sebagai negeri para raja. Tokoh yang sering disebut misalnya Poeteumeureuhom. Bernama lengkap Sultan Alaidin Ri’ayatsyah, dia lah yang membawa Islam menyebar ke kawasan itu.

Safrizal Tsabit, pemerhati budaya di Lamno mengatakan, Poetemeureuhom berasal dari kerajaan Samudra Pasai. Bersama rombongannya, dia mulai melakukan perjalanan mulai dari Desa Mareu mengikuti arah hulu sungai dan kemudian menyisir kawasan pesisir pantai. “Rombongan kemudian berhasil menaklukkan raja-raja kecil disepanjang aliran sungai,” katanya.

Di kawasan itu, awalnya terdapat kerajaan meliputi kerajaan Lamno, Keuluang Daya, Kuala Unga dan Kuala Daya. Setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil itu, Poteumeureuhom tak langsung membubarkannya. Namun Wilayah yang ditaklukinya diberikan hak otonomi dan tunduk dalam Kerajaan Daya atau yang dikenal dengan Meureuhom Daya.

Sebagai bentuk terimakasih rakyat kepada sang raja, digelar lah upacara Peumeunap dan Sumeuleueng. Dalam upacara itu raja disuapi nasi yang berasal dari hasil panen terbaik. Upacara penabalan raja ini kemudian dikenang dan dilangsungkan sampai sekarang setiap tanggal 10 Zulhijjah atau pada hari raya kurban.

Sejarah juga mencatat sepeninggal Poteumeureuhom kondisi Kerajaan Daya sedikit goyah. Kerajaan daya yang kemudian juga tunduk pada kerajaan Aceh Darussalam, harus bertahan melawan portugis yang ingin menguasai seluruh wilayah.

Pada 1511-1530 saat pergantian pucuk pimpinan di Kerajaan Aceh Darussalam dari Sulthan Syansu Syah kepada puteranya Sulthan Ali Mughayat Syah, perang Aceh dan portugis memuncak.

Raja Mughayat Syah, terpaksa mengutus adiknya Raja Ibrahim memimpin perang di perairan Arun untuk membendung Portugis masuk menguasai pesisir Timur Aceh. Namun naas, Raja Muda itu tewas di Arun.

Untuk menggantikan pimpinan armada Aceh di Arun, Sulthan Ali Mughayat Syah mengirim menantu Poteumeureuhom, Raja Unzir yang kala itu memegang tampuk pimpinan Negeri Daya. Sejak itu Negeri Daya tak punya raja lagi. Pucuk pimpinan langsung dileburkan ke kerajaan inti Aceh Darussalam.

Isteri Raja Unzir, Siti Hur kemudian diperintahkan mengurus roda pemerintahan di Kerajaan Daya sekaligus menjadi wakil Raja Aceh disana. Pada Bulan Jamadil Awal Tahun 1526, Raja Unzir pun tewas di Aru.

Pasca Siti Hur mangkat, pemerintah di Negeri Daya mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena karena seringkali terjadi perang saudara dan percecokan akibat selisih paham diantara sesama raja yang memperebutkan kekuasaan dan hasil pajak lada. Hal seperti itu terus terjadi dalam kuran waktu hampir dua abad lamanya.

Sekitar 1711 sampai 1735, Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir berkuasa di Aceh Darussalam. Pemerintahnya tidak terlalu disukai oleh para petinggi kerajaan yang berpengaruh di Aceh saat itu. Sang raja pun tak memperoleh dukungan kuat di kalangan istana.

Untuk menghilangkan paradigma miring, Jamalul sering melakukan lawatan keluar daerah untuk mendapat simpati dari raja-raja kecil yang merupakan kesatuan terpisah di Kerajaan Aceh Darussalam. Sulthan Jamalul yang bergelar Poteu Jamaloy ini berkeinginan melakukan kunjungan khusus ke Negeri Daya untuk menertibkan situasi kerajaan yang semraut karena perang berebut pajak raja.

Untuk memuluskan lawatannya, Poteu Jamaloy mempelajari tradisi dan adat budaya yang belaku di Negeri Daya. Akhirnya dia berhasil mempertegas kembali ketentuan “neuduek” awal yang pernah diprakarsai oleh Poteumeureuhom.

Mengenang jasa sang raja, makam Poteumeureuhom yang berada di perbukitan kecil di pesisir Desa Gle Jong kini dikeramatkan warga. Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga mengunjungi makam itu untuk berziarah atau melepas nazar. Berziarah ke makam dipercaya membawa berkah.

Pemandangan alam di leumbah Geurutee

Memasuki kawasan Leumbah Geurutee

Perjalanan menuju Lamno

Di Lamno, jejak-jejak masa jaya itu kian sulit dilacak. Dulu banyak peninggalan kuno seperti porselen dan mata uang dari berbagai kerajaan dunia ditemukan. Hampir semua peninggalan sejarah itu telah berpindah tangan.


Lamno kini juga tak lagi dikenal sebagai kota penghasil Lada. Hanya biji kopi Arabica Lamno yang masih punya nama. Sekarang pemburu Lada telah berganti dengan para pemburu sarang walet dari gua Teumiga dan gua Keuluang di bibir lembah Geurutee.


Tsunami 2004 silam juga membuat Lamno nan masyur tak lagi berjaya karena jembatan penghubung antar kabupaten di Lambeusoi putus. Sejak enam tahun lalu itu warga terpaksa menggunakan rakit untuk menyebrang, karena jembatan juga belum rampung.


Bakat raya itu juga menewaskan 6.000 penduduk Lamno. Gadis bermata biru juga jarang dijumpai. Kini sepotong legenda mata biru dan kerajaan daya pun seperti bersembunyi di bibir lembah Geurutee.




Sumber : http://aneukabumamak.blogspot.com

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 05 Oktober 2011

Hanya Sekedar Hobby atau Profesi

Oleh Ziyaush Shabri

Meulaboh memang kota yang unik dan berkesan. Walau meulaboh merupakan sebuah kota yang kecil, kota ini menyimpan banyak keindahan alam yang asri dan sangat murni. Tidak jarang banyak pendatang dan pelancong yang datang ke meulaboh untuk menikmati keindahan alam dan pesisir pantai meulaboh. Bukan sekedar basa-basi, banyak dari pelancong menyempatkan dirinya untuk bisa berkunjung ke meulaboh.

Seorang warga pesisir yang
sedang menikmati kegiatannya
Di samping itu, banyak juga pendatang dari daerah lain datang ke meulaboh dengan tujuan membuka usaha dan bisnis kecil-kecilan. Sebagaimana halnya kita jumpai di toko-toko sepanjang kota meulaboh, kebanyakan dari mereka adalah pendatang dari dalam maupun luar Aceh. kebanyakannya sich dari Padang, Bireun, Sigli, dan daerah-daerah lainnya.

Sebagaimana perjalanan saya malam ini melintasi pesisir pantai meulaboh yang indah dan memberikan pesona alam tersendiri. Menikmati keindahan pantai merupakan hobby saya di sore hari, biasanya mengajak teman untuk jalan-jalan menelusuri tepian pantai ujung karang.

Kebanyakan para pemuda dan orang tua yang tinggal di sekitar pesisir lebih senang memancing di sore hari. Terkadang bukan hanya sekedar hobby, tapi sudah menjadi kebiasaan mereka di sore hari memancing ikan di pinggir pantai (alias Profesi). Nah, apa sich modus mereka yang hobbynya memancing ini.

Suasana Pelabuhan di malam hari

Mereka mengatakan :
"memancing bagi kami hanya sekedar penghibur saja. Biasanya anak muda yang lagi liburan seringnya memancing disini, mulai dari sore hari sampai terbenamnya matahari. Ada juga yang datang selepas shalat magrib. Saya biasanya sepulang kerja memancing disini sekitar satu jam. Itu sich kalau lagi beruntung ya bawa pulang ikan, tapi kalau lagi tidak beruntung hanya sebuah kebahagiaan yang kami dapatkan", tutur seorang bapak yang sedang memancing di pelabuhan Ujung Karang.



Yah, memang begitulah adanya. Terkadang mereka mengisi waktu luangnya dengan bersantai ria di pinggir laut ditemani dengan sebuah pancingan yang  sudah dipersiapkan dari rumah. Memancing bagi sebagian mereka menjadi sebuah hobby tersendiri sepulang bekerja, bagi sebagian lainnya memancing sudah menjadi profesi mereka di sore hari. (kira-kira ikan nga tidur ya di malam hari). Selamat memancing Pak....

Inilah keindahan pantai Ujung Karang pada sore hari...


Indah bukan.....???

[+/-] Selengkapnya...