Subscribe:

Ads 468x60px

Saweu Gampoeng Tanoeh Geutanyoe Seuramoe Mekkah

Rabu, 26 Oktober 2011

Inikah Kilometer Nol itu ?

Boleh jadi lagu Dari Sabang Sampai Merauke gubahan R. Surarjo merupakan salah satu lagu legendaris bagi masyarakat Indonesia. Lagu ini menjadi lagu yang selalu diajarkan oleh guru Taman Kanak-kanak ataupun guru Sekolah Dasar kepada murid-muridnya. Secara tidak langsung lagu ini menggambarkan rentang wilayah geografis Repubik Indonesia yang membentang dari Sabang, sebuah kota di ujung Sumatra, hingga Merauke, sebuah kota di ujung Timur Pulau Papua.
Berbicara tentang bentangan wilayah Republik Indonesia, akan muncul satu pertanyaan tentang keberadaan titik nol Indonesia. Merujuk pada lagu di atas, akan diketahui bahwa titik nol Indonesia terletak di wilayah Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Sabang merupakan kota kepulauan dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Oleh karena itu, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Di pulau ini terdapat Tugu Kilometer Nol sebagai tanda titik awal penghitungan kilometer di Indonesia.


Berbicara tentang bentangan wilayah Republik Indonesia, akan muncul satu pertanyaan tentang keberadaan titik nol Indonesia. Merujuk pada lagu di atas, akan diketahui bahwa titik nol Indonesia terletak di wilayah Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Sabang merupakan kota kepulauan dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Oleh karena itu, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Di pulau ini terdapat Tugu Kilometer Nol sebagai tanda titik awal penghitungan kilometer di Indonesia.

Tugu Kilometer Nol merupakan sebuah bangunan yang menjulang setinggi 22,5 meter dan terletak pada ketinggian 43,6 m di atas permukaan laut (dpl). Tugu ini berbentuk lingkaran berjeruji dan semua bagiannya dicat dengan warna putih. Bagian atas lingkaran ini menyempit seperti mata bor. Di puncak tugu bertengger patung burung garuda menggenggam angka nol. Sebuah prasasti marmer hitam menunjukkan posisi geografis tempat ini: Lintang Utara 05 54‘ 21,99″ Bujur Timur 95 12‘ 59,02″. Selain itu, di dinding bangunan juga tertempel prasasti peresmian tugu yang ditandatangani oleh Try Sutrisno saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Prasasti itu ditandatangani di Banda Aceh, ibukota NAD, pada 9 September 1997.

Sebelumnya terdapat tugu lain yang diyakini sebagai ‘kilometer nol‘ Indonesia. Namun, setelah dilakukan penelitian oleh pakar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS), lokasi itulah yang kemudian diputuskan sebagai titik nol Indonesia. Hal itu tertulis dalam prasati lainnya yang ditandatangani oleh BJ Habibie yang menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BPPT, pada tanggal 24 September 1987. Oleh karena itu, tugu yang lama dinyatakan sebagai kilometer tujuh Indonesia.

KM 0 Terletak di areal Hutan Wisata Sabang, membuat perjalanan menuju lokasi Tugu Kilometer Nol menjadi rekreasi tersendiri. Untuk mencapai tempat ini para wisatawan akan melewati kaki bukit dan tebing dengan pemandangan yang indah. Hutan tropis di hutan lindung masih terpelihara dengan baik, sementara di sisi kanan jalan, birunya air laut terlihat dengan jelas. Jika Anda beruntung, terkadang ada sekawanan monyet yang bergelantungan dari pohon ke pohon, bahkan mereka juga sering berdiri di tengah jalan serta menunggu para wisatawan melemparkan makanan.

Sesampainya di lokasi akan terlihat sebuah bangunan putih berbentuk bundar yang terdiri dari dua lantai. Untuk mencapai bangunan tersebut Anda harus menaiki beberapa undakan. Di lantai pertama terdapat sebuah pilar dan sebuah prasasti yang ditandatangani Try Sutrisno. Naik ke lantai dua, Anda akan melihat birunya langit dan hijaunya pepohonan, karena lantai ini beratap terbuka. Di lantai dua ini terdapat dua prasasti. Prasasti pertama menjelaskan bahwa penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia ini diukur oleh pakar BPPT. Sedangkan prasasti kedua menjelaskan posisi geografis tugu itu dalam angka-angka.

Di seberang jalan tugu tersebut, terdapat sebuah batu penanda jarak berwarna kuning seperti yang biasa terlihat di pinggir jalan. Bedanya di batu tersebut tertulis angka nol. Hal yang tak lazim dijumpai pada batu penanda jarak lainnya. Di sekeliling tugu tersebut terdapat pepohonan yang tertata rapi. Anda dapat duduk di halte yang tersedia di tempat itu, kemudian melayangkan pandangan ke arah Lautan Hindia. Berhubung Pulau Weh merupakan daratan paling ujung, maka tidak akan ada pulau pengalang pandangan hingga jauh ke laut lepas. Pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali dengan latar laut membiru dan suara angin menderu.

Menjelang senja, wisatawan yang berkunjung ke tugu ini cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan mereka ingin menyaksikan proses terbenamnya matahari. Bola matahari berwarna jingga, kemudian berubah menjadi merah menyala di antara awan tipis, lantas tenggelam ke laut yang juga menjadi merah. Setelah itu, pemandangan akan berubah menjadi gelap, dan hanya ada kerlip bintang di bentangan luas langit malam.

Berada di kilometer nol Indonesia akan memberikan sensasi yang berbeda bagi Anda. Sebagai bukti bahwa Anda pernah berada di kilometer nol Indonesia, Anda dapat meminta piagam ke Dinas Pariwisata Kota Sabang. Jika Anda telah puas menikmati pesona Tugu Kilometer Nol Indonesia, Anda dapat melanjutkan perjalanan ke obyek wisata lain yang ada di dekat tugu ini. Obyek wisata itu antara lain: Pantai Iboih, Pantai Gapang, Pantai Kasih, Pantai Pasir Putih, Pantai Sumur Tiga, Pantai Anontam, Pantai Tapak Gajah atau Pantai Lhung Angen. Bagi Anda yang memiliki waktu luang Anda juga bisa mendatangi Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Rondo dan Pulau Seulako. Semua keindahan obyek wisata tersebut akan makin membuat Anda jatuh cinta dengan kota di ujung Barat Indonesia ini.

Tugu Kilometer Nol berada dalam areal Hutan Wisata Sabang, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam, Indonesia.

Tugu ini terletak sekitar 30 km ke arah Barat dari Kota Sabang. Untuk mencapai Tugu Nol Kilometer Anda dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, dan akan memakan waktu sekitar 1-1,5 jam perjalanan. Bagi Anda yang berangkat dari Banda Aceh, Anda dapat naik kapal cepat Bahari Express dari pelabuhan Ulee Lheu kemudian turun di pelabuhan Baloohan Sabang. Tiket Bahari Express seharga Rp50.000,00 untuk non AC, Rp 60.000,00 untuk AC dan Rp70.000,00 untuk VIP. Dari pelabuhan Baloohan Anda bisa naik taksi seharga Rp50.000,00 per orang atau mencarter mobil seharga Rp250.000 untuk sekali jalan sampai ke lokasi

Sebagai sebuah obyek wisata, Tugu Kilometer Nol sudah memadai. Di sekitar tugu terdapat pepohonan yang berjajar rapi sebagai pelindung dari sengat matahari saat duduk di halte. Bagi Anda yang ingin bermalam, Anda dapat menginap di losmen atau penginapan yang ada di Chapang, sekitar 7 kilometer dari Tugu Kilometer Nol. Anda dapat menyewa cottage dengan kamar mandi dan ruang tamu seharga Rp300.00,00 sd Rp.500.00,00 per malam



Sumber : http://acehculture.co.id

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 11 Oktober 2011

"TPM Tanyoe" Masa Depan Generasi Aceh

Senyum Anak Aceh
Taman Pendidikan Masyarakat (TPM) Tanyoe adalah sebuah lembaga pendidikan
Non-formal yang terletak di Desa Lambirah, Sibreh, Aceh Besar. 
TPM yang digagas pada bulan juli lalu ini didirikan oleh awak Lambiwood Community,
para muda yang ingin sedikit berguna.

TPM Tanyoe ini adalah sebuah lembaga yang berdiri sendiri (independen), tidak berada di bawah instansi mana pun dan tidak juga berada di bawah sokongan kepentingan politik apa pun. Namun, TPM ini berada dibawah binaan para tetua gampong dan tokoh masyarakat yang ada di Lambirah dan sekitarnya, yaitu Camat Sukamakmur, Imuem Mukim Sungai Limpah, Keuchik Gampong Lambirah, Imuem Menasah dan Tuha peut serta Tuha Lapan.

TPM ini terdiri dari sebuah pustaka sederhana yang terletak di komplek Dayah Lambirah. Pustaka sederhana ini adalah hasil dari peluh dan kerja keras awak Lambiwood Community, dibangun murni dari nol dan dengan hanya bermodalkan semangat, keprihatinan, kenekatan dan dana pribadi.
Adik-adik senyum ya....!!!
Gedung pustaka ini yang juga berperan sebagai posko pengurus TPM, adalah gedung peninggalan era pasca Tsunami 2004 dulu. Gedung tersebut dulunya adalah gedung sementara Sekolah Dasar Negeri Lambirah, karena gedung SDN Lambirah yang sebenarnya masih dalam proses rehabilitasi, setelah diluluhlantakkan oleh gempa. Nah, setelah gedung SDN Lambirah selesai direhab dan layak untuk ditempati kembali, gedung SDN sementara ini terbengkalai. Tak ada yang menggunakannya kecuali hanya dua ruang saja, yang digunakan sebagai gedung Taman Kanak-kanak Desa Lambirah. Namun lagi-lagi, karena jumlah murid TK yang sangat minim, satu ruang saja sudah bisa dikatakan kelewat besar, maka ruang satunya lagi juga ikut terbengkalai. Tak terpakai sama sekali, hingga nyaris rubuh. Oleh karena itu, atas inisiatif teman-teman awak Lambiwood Community, ruang yang tadinya akan digunakan untuk TK tersebut, disulap menjadi gedung TPM Tanyoe, numpang tuk sementara waktu, begitu lah kir-kira. Sebab gedung yang satunya lagi, yang tidak diambil alih untuk TK, terlalu tidak mungkin untuk direhab, jika hanya dengan menggunakan dana pribadi, keadaannya sudah sangat rusak.

Sungguh, atas nama segala sesuatu yang dirintis dengan dana pribadi pastinya memiliki kekurangan, dalam hal fasilitas di sana-sini. Pustaka TPM Tanyoe hanya memiliki satu Rak buku dua muka, beberapa buku dan beberapa hiasan dinding anak-anak. Rak buku murni diolah sendiri oleh pengurus cowok TPM Tanyoe, dana untuk beli papan didapatkan dari “meuripee” dan juga sumbangan dari beberapa teman lain diluar komunitas yang baik hati. Beberapa buku yang ada merupakan hasil dari sumbangan teman-teman, begitu juga dengan hiasan dindinngnya. Khususnya yang digerakkan oleh FLP wilayah Aceh dan Komunitas Kutu Buku, dalam program One Man One Book. Mereka berhasil mengumpulkan sekitar 300 lebih buku untuk TPM ini. (sungguh terimakasih yang tiada terkira). Inilah sekilas, tentang fasilitas yang sekarang kami miliki, kami akan terus berupaya mengembangkannya menjadi lebih baik. Kami sangat berharap uluran tangan dari semua pihak.

Salah seorang guru TPM Tanyoe sedang bercengkrama dengan anak-anak TPM
Visi dan misi TPM Tanyoe adalah untuk mencerdaskan anak-anak negeri, khususnya yang berada di daerah pelosok, di Desa Lambirah. Harapan kami, anak-anak yang belum dirangkul oleh fasilitas dan motivasi yang memadai ini juga dapat menikmati indahnya pendidikan, layaknya yang didapatkan oleh anak-anak kota. “Paling tidak, mereka dapat terus bermimpi, mimpi yang baik pastinya. Serta, berjuang sekuat tenaga untuk meraih mimpi-mimpi itu.” Ungkap Husnul Khatimah (19), Perintis Lambiwood Community, sekaligus Dirut TPM Tanyoe.

Cita-cita kami, pengurus TPM Tanyoe, TPM ini tidak hanya berada di tingkat Desa Lambirah, dan cuman menawarkan senyum indah untuk anak-anak yang ada di sana. Akan tetapi, kami sungguh berkeinginan untuk merangkul semua anak-anak yang berada di pelosok Sibreh, Aceh Besar, hingga ke seluruh pelosok Aceh, tak ayal hingga seluruh Indonesia. Saling berbagi kebahagian, khususnya buat anak-anak adalah sebuah harapan yang sungguh membuncah di dada kami. Membayangkan anak-anak yang berada di seluruh pelosok Aceh, dapat tertawa senang menikmati masa kecilnya dan belajar sambil bermain, layaknya yang sedang dirasakan oleh bocah-bocah Lambirah, sungguh tiada Tara senangnya bagi kami.

Untuk saat ini, kegiatan TPM Tanyoe mencakup kegiatan belajar mengajar, mulai dari pelajaran sekolah, mencakup Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, dan Matematika. Keagamaan, mencakup Akhlak, SKI, Fikih, Tahsin, belajar Iqra (untuk anak-anak yang masih belum bisa baca Qur’an dengan lancar), Tahfiz juz 30 dan juz 1(untuk yang sudah lancar), dan pelajaran karakter. Kesenian, mencakup Tarian tradisional Aceh, Rebana, Nasyid, Pantomim, dan drama.

Maka dari itu, kami selaku pengurus TPM Tanyoe, sangat menghimbau kepada semua pihak untuk bahu membahu, saling bergandengan tangan, bekerja sama demi mewujudkan cita-cita mulia ini.



Sekecil apa pun bantuan teman-teman, pasti sungguh berguna bagi kami. Terimakasih banyak bagi semua pihak yang telah membantu kami. Bantuan, bimbingan, dukungan dan doanya selama ini, sungguh berguna bagi kami. Semoga Allah meridhai kerja keras kita ini, hingga kita semua dapat menjadi orang yang berguna dan bahagia.

Amin…

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 07 Oktober 2011

Misteri Lembah Geurutee

Hamparan pasir putih membentang luas sepanjang pantai Kuala Daya. Riak ombak dan hembusan angin yang mengayunkan pohon kelapa, memecahkan kesunyian kawasan teluk di kaki gunung Geurutee itu. Lamno, sebuah kota kecil di Kabupaten Aceh Jaya.
Pemandangan alam dari puncak Gunong Geurutee

Berjarak sekitar 75 kilometer dari Banda Aceh, Lamno menyimpan sejuta sejarah. Sejak dahulu, Lamno terkenal sebagai kawasan asal gadis berkulit putih, bermata biru, berambut pirang mirip bangsa Eropa. Mereka dipercaya merupakan keturunan prajurit Portugis yang terdampar di kerajaaan daya di abad ke-15 silam.

Sejarah mencatat, sekitar tahun 1492-1 511, kapal perang Portugis pimpinan Kapten Pinto yang kalah perang dengan Belanda di Selat Melaka, mengalami kerusakan saat berlayar dari Singapura. Kapal ini terdampar di pantai Kerajaan Daya. Raja Daya tak ingin membiarkan kapal itu lari dan mendarat tanpa izin di Kuala Daya. Laskar Rimueng Daya menghujam tembakan ke kapal itu dengan meriam besar hingga tenggelam.

Semua awak kapal dan tentara Portugis akhirnya menyerah dan meminta perlindungan. Sambil menunggu bala bantuan armada kapal dari negerinya menjemput mereka, pasukan Portugis menjadi tawanan. Awak kapal dikarantina dalam satu kawasan berpagar tinggi.

Hari demi hari mereka terus menunggu pertolongan. Tapi bantuan tak kunjung datang. Mereka pun menyerah pada Raja Daya. Raja Daya yang terkenal arif itu membebaskan mereka tanpa syarat harus menjadi budak. Tentara Portugis itu kemudian berbaur dengan penduduk Lamno. Mereka diajarkan bertani, berbahasa, dan diperkenalkan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Para mantan tawanan perang itu kemudian juga dibolehkan untuk mempersunting gadis pribumi, tentu setelah memeluk islam.

Menurut versi lain asal-usul "orang putih" di Lamno, mereka bukan terdampar, melainkan sengaja datang berdagang dengan penduduk Negeri Daya. Mereka membawa pelbagai barang berharga, mulai dari porselen hingga senjata dan mesiu. Balik ke negerinya, mereka mengangkut rempah-rempah dan berbagai hasil bumi. Kala itu Daya merupakan bandar dagang yang ramai di Aceh. Para saudagar berdatangan dari India, Arab, Cina, dan Eropa tentu saja.

Hubungan baik antara Raja Daya dan para saudagar berkulit putih, yang tersiar sampai jauh, membuat gusar Raja Kerajaan Lamuri di Banda Aceh, Ali Mugayat Syah. Ali, yang ingin Pahlawan Syah memutuskan hubungan dengan pedagang Portugis, yang menurut dia kafir, lalu menyerang dan menguasai Daya.

Dialah yang kemudian menawan "orang-orang putih" itu di Meunanga. Dua tahun kemudian, Ali menguasai dua kerajaan lain: Pase dan Pedir (Pidie), lalu mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam dan mengangkat dirinya sebagai raja yang pertama (1511-1530).

Melihat lokasi Lamno yang tak terlalu jauh dari jalur dagang Portugis—Atlantis, Selat Malaka, Pasifik. cerita tentang Daya sebagai pelabuhan dagang nan ramai di Aceh cukup masuk akal. Tempat itu mudah ditemukan.

Marco Polo melakukan itu pada 1292 dalam pelayarannya dari Cina menuju Persia, seperti bisa disimak dalam bukunya, Far East. Antara lain, Marco Polo mengatakan pernah berlabuh di enam bandar di sebelah utara Sumatera, termasuk Ferlec, Samudera, dan Lambri atawa Lamuri.

Catatan lebih tua bahkan menyebut perdagangan global di Aceh telah dimulai sejak abad ke-6 M. Para pedagang Cina, misalnya, meninggalkan catatan-catatan tentang sebuah kerajaan di bagian utara Sumatera, yang mereka beri nama Po-Li. Wilayah ini juga disebut-sebut dalam catatan kuno yang ditemukan di India, berasal dari awal abad ke-9 M.

Perdagangan di bandar-bandar Aceh bertambah maju setelah Portugis mengalahkan Malaka pada 1511, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Takut pada Portugis, para pedagang dari Asia dan Arab mulai menghindari Selat Malaka dan beralih ke pelabuhan-pelabuhan di Aceh. Sejak itu, dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di wilayah itu menguat, dan mencapai puncaknya antara 1610 dan 1640. Karena hidup dalam komunitas terbatas selama beratus-ratus tahun, darah Portugis masih mengalir dalam diri sebagian masyarakat Lamno, terutama yang menetap di Kuala Daya dan Lambeuso serta Ujong Muloh.

Selain identik sebagai daerah asal gadis bermata biru, Lamno juga dikenal sebagai negeri para raja. Tokoh yang sering disebut misalnya Poeteumeureuhom. Bernama lengkap Sultan Alaidin Ri’ayatsyah, dia lah yang membawa Islam menyebar ke kawasan itu.

Safrizal Tsabit, pemerhati budaya di Lamno mengatakan, Poetemeureuhom berasal dari kerajaan Samudra Pasai. Bersama rombongannya, dia mulai melakukan perjalanan mulai dari Desa Mareu mengikuti arah hulu sungai dan kemudian menyisir kawasan pesisir pantai. “Rombongan kemudian berhasil menaklukkan raja-raja kecil disepanjang aliran sungai,” katanya.

Di kawasan itu, awalnya terdapat kerajaan meliputi kerajaan Lamno, Keuluang Daya, Kuala Unga dan Kuala Daya. Setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil itu, Poteumeureuhom tak langsung membubarkannya. Namun Wilayah yang ditaklukinya diberikan hak otonomi dan tunduk dalam Kerajaan Daya atau yang dikenal dengan Meureuhom Daya.

Sebagai bentuk terimakasih rakyat kepada sang raja, digelar lah upacara Peumeunap dan Sumeuleueng. Dalam upacara itu raja disuapi nasi yang berasal dari hasil panen terbaik. Upacara penabalan raja ini kemudian dikenang dan dilangsungkan sampai sekarang setiap tanggal 10 Zulhijjah atau pada hari raya kurban.

Sejarah juga mencatat sepeninggal Poteumeureuhom kondisi Kerajaan Daya sedikit goyah. Kerajaan daya yang kemudian juga tunduk pada kerajaan Aceh Darussalam, harus bertahan melawan portugis yang ingin menguasai seluruh wilayah.

Pada 1511-1530 saat pergantian pucuk pimpinan di Kerajaan Aceh Darussalam dari Sulthan Syansu Syah kepada puteranya Sulthan Ali Mughayat Syah, perang Aceh dan portugis memuncak.

Raja Mughayat Syah, terpaksa mengutus adiknya Raja Ibrahim memimpin perang di perairan Arun untuk membendung Portugis masuk menguasai pesisir Timur Aceh. Namun naas, Raja Muda itu tewas di Arun.

Untuk menggantikan pimpinan armada Aceh di Arun, Sulthan Ali Mughayat Syah mengirim menantu Poteumeureuhom, Raja Unzir yang kala itu memegang tampuk pimpinan Negeri Daya. Sejak itu Negeri Daya tak punya raja lagi. Pucuk pimpinan langsung dileburkan ke kerajaan inti Aceh Darussalam.

Isteri Raja Unzir, Siti Hur kemudian diperintahkan mengurus roda pemerintahan di Kerajaan Daya sekaligus menjadi wakil Raja Aceh disana. Pada Bulan Jamadil Awal Tahun 1526, Raja Unzir pun tewas di Aru.

Pasca Siti Hur mangkat, pemerintah di Negeri Daya mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena karena seringkali terjadi perang saudara dan percecokan akibat selisih paham diantara sesama raja yang memperebutkan kekuasaan dan hasil pajak lada. Hal seperti itu terus terjadi dalam kuran waktu hampir dua abad lamanya.

Sekitar 1711 sampai 1735, Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir berkuasa di Aceh Darussalam. Pemerintahnya tidak terlalu disukai oleh para petinggi kerajaan yang berpengaruh di Aceh saat itu. Sang raja pun tak memperoleh dukungan kuat di kalangan istana.

Untuk menghilangkan paradigma miring, Jamalul sering melakukan lawatan keluar daerah untuk mendapat simpati dari raja-raja kecil yang merupakan kesatuan terpisah di Kerajaan Aceh Darussalam. Sulthan Jamalul yang bergelar Poteu Jamaloy ini berkeinginan melakukan kunjungan khusus ke Negeri Daya untuk menertibkan situasi kerajaan yang semraut karena perang berebut pajak raja.

Untuk memuluskan lawatannya, Poteu Jamaloy mempelajari tradisi dan adat budaya yang belaku di Negeri Daya. Akhirnya dia berhasil mempertegas kembali ketentuan “neuduek” awal yang pernah diprakarsai oleh Poteumeureuhom.

Mengenang jasa sang raja, makam Poteumeureuhom yang berada di perbukitan kecil di pesisir Desa Gle Jong kini dikeramatkan warga. Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga mengunjungi makam itu untuk berziarah atau melepas nazar. Berziarah ke makam dipercaya membawa berkah.

Pemandangan alam di leumbah Geurutee

Memasuki kawasan Leumbah Geurutee

Perjalanan menuju Lamno

Di Lamno, jejak-jejak masa jaya itu kian sulit dilacak. Dulu banyak peninggalan kuno seperti porselen dan mata uang dari berbagai kerajaan dunia ditemukan. Hampir semua peninggalan sejarah itu telah berpindah tangan.


Lamno kini juga tak lagi dikenal sebagai kota penghasil Lada. Hanya biji kopi Arabica Lamno yang masih punya nama. Sekarang pemburu Lada telah berganti dengan para pemburu sarang walet dari gua Teumiga dan gua Keuluang di bibir lembah Geurutee.


Tsunami 2004 silam juga membuat Lamno nan masyur tak lagi berjaya karena jembatan penghubung antar kabupaten di Lambeusoi putus. Sejak enam tahun lalu itu warga terpaksa menggunakan rakit untuk menyebrang, karena jembatan juga belum rampung.


Bakat raya itu juga menewaskan 6.000 penduduk Lamno. Gadis bermata biru juga jarang dijumpai. Kini sepotong legenda mata biru dan kerajaan daya pun seperti bersembunyi di bibir lembah Geurutee.




Sumber : http://aneukabumamak.blogspot.com

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 05 Oktober 2011

Hanya Sekedar Hobby atau Profesi

Oleh Ziyaush Shabri

Meulaboh memang kota yang unik dan berkesan. Walau meulaboh merupakan sebuah kota yang kecil, kota ini menyimpan banyak keindahan alam yang asri dan sangat murni. Tidak jarang banyak pendatang dan pelancong yang datang ke meulaboh untuk menikmati keindahan alam dan pesisir pantai meulaboh. Bukan sekedar basa-basi, banyak dari pelancong menyempatkan dirinya untuk bisa berkunjung ke meulaboh.

Seorang warga pesisir yang
sedang menikmati kegiatannya
Di samping itu, banyak juga pendatang dari daerah lain datang ke meulaboh dengan tujuan membuka usaha dan bisnis kecil-kecilan. Sebagaimana halnya kita jumpai di toko-toko sepanjang kota meulaboh, kebanyakan dari mereka adalah pendatang dari dalam maupun luar Aceh. kebanyakannya sich dari Padang, Bireun, Sigli, dan daerah-daerah lainnya.

Sebagaimana perjalanan saya malam ini melintasi pesisir pantai meulaboh yang indah dan memberikan pesona alam tersendiri. Menikmati keindahan pantai merupakan hobby saya di sore hari, biasanya mengajak teman untuk jalan-jalan menelusuri tepian pantai ujung karang.

Kebanyakan para pemuda dan orang tua yang tinggal di sekitar pesisir lebih senang memancing di sore hari. Terkadang bukan hanya sekedar hobby, tapi sudah menjadi kebiasaan mereka di sore hari memancing ikan di pinggir pantai (alias Profesi). Nah, apa sich modus mereka yang hobbynya memancing ini.

Suasana Pelabuhan di malam hari

Mereka mengatakan :
"memancing bagi kami hanya sekedar penghibur saja. Biasanya anak muda yang lagi liburan seringnya memancing disini, mulai dari sore hari sampai terbenamnya matahari. Ada juga yang datang selepas shalat magrib. Saya biasanya sepulang kerja memancing disini sekitar satu jam. Itu sich kalau lagi beruntung ya bawa pulang ikan, tapi kalau lagi tidak beruntung hanya sebuah kebahagiaan yang kami dapatkan", tutur seorang bapak yang sedang memancing di pelabuhan Ujung Karang.



Yah, memang begitulah adanya. Terkadang mereka mengisi waktu luangnya dengan bersantai ria di pinggir laut ditemani dengan sebuah pancingan yang  sudah dipersiapkan dari rumah. Memancing bagi sebagian mereka menjadi sebuah hobby tersendiri sepulang bekerja, bagi sebagian lainnya memancing sudah menjadi profesi mereka di sore hari. (kira-kira ikan nga tidur ya di malam hari). Selamat memancing Pak....

Inilah keindahan pantai Ujung Karang pada sore hari...


Indah bukan.....???

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 04 Oktober 2011

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, Ulama Aceh di Mesir

Ada dua hal tentang ulama Aceh ini. Pertama, di Aceh dan boleh jadi di Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca oleh kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu perobatan, yakni Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka asalpaham siapun bisa membacanya.Kedua, di Aceh anak muda yang sudah belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah, diantara impian mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri yang sudah mencetak ribuan ulama,bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di Nusantara, disemai dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir. Sehingga anak muda Aceh yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah ada yang berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim yang juga pengasuh khusus.

“KAI” di Harian Serambi Indonesia yang rutin setiap hari Jumat. Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islâm yang didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo ini.Berangkat dari dua hal tersebut, saya lalu mencoba mecari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Mekkah berikut Serambinya (Aceh). Tanpa sengaja saya kemudian tersentak bahwa pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota besar Aceh. Syeikh tersebut adalah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh kini. Padahal karya Tajul Muluk sering dibaca sampai sekarang. Sebelum berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh dan sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani. Kedua ulama ini memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi agaknya tidak lepas dari jaringan keilmuan Nusantara ini. Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada peneliti yang berani melakukan pengkajian terhadap biografinya secara lengkap.
 
Selain Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal kalimat yang sangat puitis:
 
“Wahai ikhwan yang Muslimin,
orang yang yakin akan Rabbana,
Karangan ini intan ku karang,
segala manikam himpun di sana.’’
 
Kitab ini kumpulan kitab ulama lain yang dihimpun oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi, yaitu Hidayatul ‘Awam karya Syeikh Jalaluddin bin Kamaluddin Asyi, Faraidh al-Quran, tanpa nama pengarang. Kasyful Kiram karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Talkhishul Falah karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Syifaul Qulub karya ‘Arif Billah Syeikh ‘Abdullah Baid Asyi, Mawaizhul Badi’ah karya Syeikh ‘Abdur Rauf Fansuri Assingkili,. Dawaul Qulub karya Syeikh Muhammad bin Syeikh Khathib Langgien Asyi, I’lamul Muttaqin karya Syeikh Jamaluddin bin Syeikh ‘Abdullah Asyi.
 
Cetakan awal kitab tersebut diusahakan oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah. Halaman terakhir cetakan ke lapan, 1320 H/1902 M. Jadi, tidak dapat disangsingkan bagaimana keilmuan yang dikuasai oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Sebab, dalam tradisi Syarah dah Hasyiyah, seorang ulama yang berani menghimpun kitab-kitab ulama adalah mereka yang sudah pernah mendapatkan ijazah ilmu, baik secara lahir maupun batin. Hal ini disebabkan dalam tradisi keilmuan Islâm, model ijazah adalah salah satu syarat untuk menjadi murid atau punya hubungan batin dengan ulama sebelumnya.
 
Sedangkan kitab Tajul Muluk, Syeikh Ismail al-Asyi memulakannya dengan karya Syeikh ‘Abbas al-Asyi yang berjudul Sirajuz Zhulam, yang membicarakan ilmu hisab dan falakiyah. Pada akhir kitab Sirajuz Zhalam karya Syeikh ‘Abbas al-Asyi, Syeikh Ismail al-Asyi mencatat, “Maka telah selesai hamba salin kitab ini dalam negeri Mekah yang Musyarrafah pada hari Sabtu, pada 28 hari bulan Rabiulawal 1306H.” Kitab terakhir dalam Tajul Muluk ialah yang berjudul Hidayatul Mukhtar karya Syeikh Wan Hasan bin Wan Ishaq al-Fathani. Cetakan awal yang telah ditemui ialah yang diusahakan oleh Mathba’ah al- Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Jadi, perlu diupayakan oleh para sarjana Aceh untuk membuka kembali bagaimana tradisi tulisan ulama, seperti yang dilakukan oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi ini.
 
Di dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab kitab ulama Aceh pada saat itu agar mudah dibaca umum juga mengarang kitab sendiri seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan pertama Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul Mannan fi Bayani Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi ‘Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.
 
Ditugaskan ke Mesir
Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul manuskrip kasrya karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani. . Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.
 
Inilah secuil kisah dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak hal yang perlu ditelaah lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. Ruh ini ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi melalui dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh, tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar. 




Sumber : http://soelaldjunayd.blogspot.com/2010/12/profil-ulama-ulama-aceh.html

[+/-] Selengkapnya...

HABIB BUGAK ASYI (ACEH): PEWAKAF BAITUL ASYI – WAKAF HABIB BUGAK

Jama’ah haji Aceh sejak tahun 2007/2008 telah mendapat penggantian biaya pemondokan haji selama di Mekkah, yang totalnya menurut Pemda NAD sebesar Rp. 25 Milyar. Dana ini berasal dari Waqaf Baitul Asyi atau Wakaf Habib Bugak, yaitu waqaf yang telah diberikan oleh Habib Bugak Mekkah pada tahun 1224 H atau sekitar tahun 1800 M dan dikembangkan Nadzir (Pengelola waqaf) dengan profesional

Dari sebidang tanah telah menjadi berbagai asset, diantaranya adalah Hotel Jiad dan Menara Jiad setinggi 28 tingkat yang mampu menampung 7000 orang. Diperkirakan nilai wakaf Habib Bugak di Mekkah saat ini telah mencapai sekitar 200 juta Riyal atau sekitar 5,5 Trilyun Rupiah. Menurut ikrar waqaf Habib Bugak, beliau telah mewariskan hartanya untuk kepentingan masyarakat Aceh, terutama jama’ah haji dan yang bermukim di Mekkah.

Adapun bunyi ikrar wakaf tersebut yang diringkas dan diterjemahkan dari Sertifikat Wakaf Haji Habib Bugak, yang dikeluarkan oleh Maulana Hakim Makkah Almukarramah adalah sebagai berikut :
 
“Yang kita muliakan Haji Habib Bugak Aceh, dengan leluasa dan ikhlas telah mempersembahkan untuk dirinya akan bermanfaat bagi hartanya, dan semata-mata mengharap keridhaan Allah, serta menantikan fahala yang besar dari hari pembalasan Allah bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, kita bersandar pada pengamalan sabda dari Rasulullah SAW (Apabila anak cucu Adam meninggal dunia, putuslah segala amal kebaikannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh)”.
Telah datang menghadap yang kita muliakan Haji Habib Bugak Aceh ke hadapan Maulana Hakim Syara’ di majlis beliau dan dia telah mewakafkan dan menahan hartanya menjadi sedekah jariah, serta membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan itu adalah sebentang tanah dan padanya terdapat rumah di kawasan Qasyasyiah di Makkah Almukarramah”.
 
Demikianlah bunyi ikrar wakaf Habib Bugak yang di ikrarkan pada tahun 1224 Hijriah. Namun menurut Dr. Hilmi Bakar dari Crescent Consulting, yang dibenarkan oleh Sayed Maimun Bin Said Abdurrahman Al Habsyi yang merupakan keturunan ke tujuh dari Habib Bugak kepada saya Senin 14 Januari 2008 di Bugak, menurutnya masih banyak dikalangan masyarakat Aceh yang belum mengenal siapa Habib Bugak Aceh itu.
 
Habib artinya seorang keturunan Rasulullah, yaitu dari keturunan beliau anak cucu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Menurut kebiasaan masyarakat Aceh memberikan gelar Habib kepada Sayed yang Alim dan memiliki kharisma serta kelebihan tertentu di masyarakatnya. Di antara Habib yang terkenal di Aceh adalah Habib Abu Bakar Balfaqih (Habib Dianjung) yang wafat di Pelanggahan Banda Aceh tahun 1100 H (1680an M) terkenal sebagai ulama yang berpengaruh pada masa Sultan Iskandar Muda dan sesudahnya. Demikian pula ada Habib Abdurrahman Al-Zachir, yang menjadi Menteri Luar Negeri dan Mangkubumi Kerajaan Aceh pada akhir 1880an dan diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda ke Mekkah pada awal tahun 1900an hingga wafat di sana.
 
Habib Bugak Asyi bukanlah nama sebenarnya dari Habib yang telah mewaqafkan hartanya pada tahun 1800an di Mekkah, tetapi adalah julukan beliau, sebagaimana menjadi kebiasaan umum para tokoh Aceh yang akan diberikan julukan tertentu, terutama tempat tinggal atau tempat wafatnya. Seperti Habib Dianjung, Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Singkili), Tengku Eumpe Awe Montasik, Abu Kota Krueng, Abu Teupin Raya dan lainnya, yang masih digunakan sampai sekarang. Jadi Habib Bugak Asyi artinya seorang Habib yang berasal dari gampong Bugak di negeri Aceh.
 
Sampai saat ini belum ditemukan catatan resmi atau sejarah tentang Habib Bugak Asyi, padahal beliau adalah salah seorang tokoh Aceh yang berpengaruh sampai ke Mekkah pada masa itu. Untuk mengenal pasti siapa Habib Bugak ini, Hilal Ahmar (Red Crescent) telah membentuk Tim Peneliti Habib Bugak yang dipimpin Dr. Hilmy Bakar (Crescent Consulting). Setelah mengadakan penelitian selama 6 bulan, maka dengan bertawaqqal sepenuhnya kepada Allah SWT, tim peneliti telah menyimpulkan bahwa nama asli Habib Bugak Asyi atau Pewaqaf Baitul Asyi di Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwy Al-Habsyi (1720anM–1870anM).
 
Habib Abdurrahman bin Syekh Al-Habsyi lahir di Mekkah dan diperkirakan tiba di Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1760an M atau bersamaan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmud Syah (1767-1786 M), dan beliau tinggal di Aceh sampai wafat sekitar tahun 1870an M. Menurut surat Sultan Aceh tahun 1206H/1785M beliau ditugaskan Sultan untuk menjadiT.Chik (Sultan Lokal) di daerah utara yang kekuasaannya dari Kuala Peusangan, Pante Sidom, Bugak, Monklayu, Labu, Mane’ sampai ke Cunda dan Nisam. Surat Sultan Aceh dengan CapSikurueng bertahun 1224H/1800M dan 1270H/1825M, mengukuhkan kedudukan beliau sebagai T.Chik, Laksamana-Bentara dan Qadhi-Khatib, Wakil Sultan di sebelah Utara Kerajaan Aceh yang berpusat di Monklayu dengan kota syahbandar di Kuala Ceurapee. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Abdurrahman menjadi seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas di sepanjang pantai utara Aceh, dari Kuala Peusangan sampai ke Cunda saat ini. Sampai sekarang keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi banyak dijumpai di Peusangan, Bugak, Monklayu, Bungkah, Lhoksemawe sampai ke Panton Labu dan Idi di Aceh Timur.
 
Pada tahun 1220an H atau 1800an M, Habib Abdurrahman kembali ke Mekkah menemui keluarga besarnya. Tercatat pada bulan Rabi’ul Akhir 1224 H, beliau mewakafkan sebidang tanah beserta rumah bersebelahan dengan Masjidil Haram untuk masyarakat Aceh, baik yang muqim atau jama’ah haji dengan menggunakan nama Habib Bugak Asyi (seorang Habib dari Bugak Aceh). Dari sini dapatlah kita ketahui, beliau adalah seorang zuhud yang tidak haus dengan pujian dan sanjungan. Beliau lebih mengedepankan nama asalnya, kota Bugak di Aceh, karena beliau terpanggil untuk membawa negeri Aceh ke dunia Internasional Islam yang berpusat di Mekkah al-Mukarramah.
 
Setelah mewaqafkan hartanya, beliau kembali meninggalkan tanah leluhurnya di Mekkah untuk mengembangkan dakwah Islamiyah sepanjang hayatnya di bumi Aceh, terutama di Peusangan, Monklayu dan Bugak. Maka pada bulan Rajab 1224 H atau 3 bulan setelah beliau mewaqafkan hartanya di Mekkah, Sultan Aceh kembali mengeluarkan surat resmi yang mengukuhkan Habib Abdurrahman Al-Habsyi sebagai penguasa lokal wakil Sultan di Utara Aceh yang berpusat di Bugak. Itulah sebabnya dahulu Bugak sangat terkenal sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam di Aceh bagian utara yang telah melahirkan banyak sekali Tengku Alim Ulama sampai awal-awal kemerdekaan. Selanjutnya Bugak digantikan perannya oleh Matang Geulumpang Dua dengan berdirinya Dayah/Jami’ah (Universitas) Al-Muslim sekarang.
 
Sampai akhir hayatnya Habib Abdurrahman Al-Habsyi berdakwah dan memimpin masyarakatnya, dan beliau sendiri bermukim di Bugak dan Monklayu. Di akhir hayatnya, beliau mewasiatkan agar dikebumikan di Pante Sidom, sebuah daerah perkebunan dipinggiran Bugak, yang sampai sekarang masih menjadi kemukiman Bugak Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Menurut hasil penelitian tim, secara geografis, sampai saat ini tidak ada nama Bugak dengan kegemilangan sejarahnya pada abad 17 – 19 M di Aceh, selain dari Bugak di Bireuen.
 
Menurut penelitian Sayed Dahlan bin Habib Abdurrahman Al-Habsyi (60 thn), kakek buyut beliau Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah Habib dan Ulama terkemuka yang sebelumnya tinggal di lingkungan Ka’bah Mekkah Almukarramah sebagai salah seorang anggota penasihat kepada Syarif Mekkah pada pertengahan abad 18 M (1740-1760an M). Pada masa ituSyarief Mekkah yang dipegang para Habib, Sayyid dan Syarief keturunan Rasulullah memiliki tempat khusus di kalangan Sultan dan Penguasa Muslim di Nusantara, terutama Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tradisi sejak Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 13 M. Jika ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan meminta fatwa dari Habib dan Ulama di Mekkah. Sementara Aceh memiliki kedudukan yang sangat khusus sebagai Serambi Mekkah, yang menurut satu pendapat dikatakan sebagai tempat mengambil keputusan atau fatwa agama dan sumber rujukan bagi Nusantara karena para Ulama Aceh memiliki drajat pengetahuan yang sama dengan Ulama di Yaman, Hijaz maupun Mesir. Karena sebagai serambi Mekkah inilah, maka Aceh selalu mendapat perhatian khusus Syarief Mekkah yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Hal senada disampaikan pula oleh Sayed Muhammad bin Sayed Husein bin Habib Shafi Al-Habsyi (80 thn) yang tinggal di Sampoinit Baktia Barat Aceh Timur.
 
Menurut kedua nara sumber ini (Sayed Dahlan dan Sayed Muhammad) yang diceritakan melalui lisan dari generasi ke generasi sebagai tradisi para Sayed, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh Darussalam, ibu kota dan pusat pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam masa itu, sekitar awal atau pertengahan abad ke 18 (kira-kira thn 1760-an) bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmudsyah (1767-1787) atas perintah dari Syarief Mekkah untuk menyelesaikan perbedaan faham antara Keturunan Sayid/Habib dengan keturunan para Sultan sejak zaman pemerintahan Sultan Ahmadsyah Johan (1735). Perbedaan ini terjadi ketika Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Syah Jamalullayl sebagai keturunan Sayyid menggantikanSultanah Kamalat Ziatuddinsyah, yang juga istrinya, dari keturunan Sultan Aceh atas dasar fatwa Syarief Mekkah dan dukungan uleebalang atau raja-raja kecil. Pertikaian ini selanjutnya berterusan sampai zaman Tuanku Sayid Hussein al-Aidit dengan keturunan Sultan Alaudin Ahmad Syah Johan.
 
Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh, menurut Sayed Dahlan, bersama dengan beberapa orang Habib, Syekh dan Ulama sebagai utusan Syarief Mekkah yang akan meneruskan tugas-tugas yang telah dijalankan sebelumnya oleh Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H) yang terkenal dengan Habib Dianjung, terutama dalam mendamaikan masyarakat Aceh yang sedang berada pada konflik internal yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan juga oleh faham teologi keagamaan yang tidak toleran yang diajarkan Syekh Nuruddin al-Raniry sebelumnya yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara di Aceh. Karena para Habib dan Ulama ini berhasil mendamaikan dan mengawal perdamaian para pemimpin Aceh yang menghasilkan sebuah rekonsiliasi masyarakat, maka mereka diberi kehormatan dan diminta menetap di Aceh. Para utusan Syarief Mekkah ini, semuanya memilih tinggal di Aceh memberikan pelajaran agama, administrasi, kemiliteran dan pelajaran lainnya kepada masyarakat Aceh.
 
Bersama-sama dengan para Habib dan Ulama lainnya, Habib Abdurrahman Al-Habsyi membimbing dan mengajar masyarakat Aceh, sekaligus menjadi penasihat kepada Sultan Aceh, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, sosial, politik sampai kepada pertahanan. Kerena kelebihannya dalam ilmu agama dan ilmu pemerintahan, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi diminta Sultan Aceh untuk pindah ke wilayah utara Aceh dan diberi kehormatan dengan diangkat sebagai Teuku Chik, jabatan yang dibentuk Sultan untuk menggantikan peranan Uleebalangsebelumnya, yang memiliki kekuasaan meliputi daerah Peusangan, Bugak, Pante Sidom, Monklayu, Teluk Iboh, Maney, Lapang, Paya Kambi, Nisam sampai Cunda dan sekitarnya sebagaimana yang tercantum dalam dokumen bertahun 1224 H (1800 M), 1270 H (1855 M) dan 1289 H (1872 M) di atas logo cop Sekureng yang merupakan surat resmi Kesultanan Aceh Darussalam di tandatangani oleh Sultan Mahmud Syah dan Sultan Mansyur Syah yang ditemukan di rumah Sayed Abdurrahman bin Sayed Burhanuddin bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi di Panton Labu Aceh Utara.
 
Dari dokumen-dokumen tersebut pula diketahui bahwa tugas Habib Abdurrahman bukan hanya mengurus administrasi pemerintahan semata, namun sekaligus sebagai seorang hakim (Qadhi) yang memutuskan perselisihan menurut hukum agama, Imam masjid, khatib jum’at, ulama sampai kepada wali hakim dalam pernikahan ataupun perceraian fasakh. Disebutkan pula tugas sebagai penerima waqaf mewakili Sultan, mengumpulkan pajak nangroe untuk Sultan dan beberapa tugas sosial lainnya. Dalam sebuah dokumen yang bertahun 1785 M (1206 H) bahkan disebutkan bahwa Habib Abdurrahman telah mengusir hama tikus yang merusak padi masyarakat di sekitar wilayah kekuasaannya, Peusangan dan sekitarnya. Atas kedudukannya tersebut, Habib Abdurrahman dan anak keturunannya kemudian dianugrahkan tanah luas oleh Sultan yang terbentang di antara Jeumpa sampai Monklayu Gandapura.
 
Menurut penelitian Sayed Dahlan yang dikuatkan dengan dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1224 H (1800 M) yang ditandatangani Sultan Mahmud Syah, Habib Abdurrahman diangkat menjadi Bentara Laksamana karena memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran dan kelautan, yang bertugas menghalau kapal-kapal perang penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Markas besar beliau adalah di delta Sungai Krueng Tingkeum Monklayu yang sangat strategis. Maka sejak saat itu Habib Abdurrahman kemudian tinggal di Monklayu sebagai tokoh pemerintah dan ulama yang dipercaya Sultan yang seterusnya dilanjutkan oleh anak keturunan beliau.
 
Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh. Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami’ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim. Pendeklarasian PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tempat ini sudah menggambarkan kedudukan startegisnya.
 
Di ujung hayatnya, sekitar pertengahan abad ke 19 M (1850-1880 an M), bertepatan dengan dimulainya serangan-serangan Kolonialis Belanda terhadap Aceh, maka beberapa kapal armada laut Kesultanan Aceh ditempatkan di sekitar delta sungai Krueng Tiengkem, di Monklayu yang sangat strategis. Karena Habib Abdurrahman adalah Teuku Chik di Monklayu, maka secara otomatis Sultan memberikan tugas untuk menjaga armada kapal perang Kesultanan Aceh. Menurut cerita yang berkembang pada anak cucu beliau, Habib Abdurrahman ikut memimpin perlawanan terhadap Kolonialis Belanda, terutama dalam memimpin armada kapal perang dengan jabatan sebagai Bentara Laksamana yang berkedudukan di Monklayu.
 
Menurut Sayed Dahlan yang didasarkan pada penuturan dan cerita nenek moyang beliau, setelah menyerahkan tugas-tugasnya kepada anak sulungnya bernama Habib Husein di Monklayu, maka Habib Abdurrahman hidup dan menetap di sekitar Pante Sidom, Bugak, Peusangan sebagaimana juga tercantum dalam dokumen bertahun 1206 H atau sekitar tahun 1785 M yang menerangkan tentang aktivitas Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Sedangkan dokumen bertahun 1224 H atau sekitar 1800 M, yang berlogo Sultan Muhammad Syah, menerangkan tentang kehidupan Habib Abdurrahman dengan segala aktivitasnya sebagai seorang penguasa disekitar Bugak, Pante Sidom, Monklayu dan lainnya.
 
Setelah menjalankan kewajibannya, Habib Abdurrahman wafat pada usia 150an tahun, yang jika dihitung dari tahun wafat anak beliau Habib Husein pada 1304 H dikurangi sekitar 25-30 tahun lebih awal, maka beliau diperkirakan wafat pada sekitar tahun 1280an H atau 1860an M dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak. Itulah sebabnya beliau dikenal oleh masyarakatnya sebagai Habib Bugak.
 
Menurut penuturan Sayed Dahlan, anak tertua Habib Abdurrahman bernama Habib Husein bin Abdurrahman AlHabsyi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisan beliau di Mekkah. Diantaranya berupa rumah disekitar Ka’bah sebagai warisan turun temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, maka Habib Husein atas wasiat Habib Abdurrahman mewaqafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Mekkah, baik jamaah haji ataupun mereka yang tinggal belajar. Itulah sebabnya, dalam ikrar waqaf tidak disebutkan nama pemberi waqaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormati beliau yang telah tinggal di Bugak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau sempat berangkat ke Mekkah kembali dan mewaqafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan saleh untuk tidak mengungkapkan jati dirinya dalam beramal soleh dan bersedekah.
 
Namun setelah ratusan tahun beliau wafat, yang diperkirakan pada tahun 1870an, atau bersamaan dengan penyerangan penjajah kaphe Belanda, tidak banyak yang mengetahui keberadaan beliau serta waqaf yang telah diberikannya kepada masyarakat Aceh di Mekkah, sampai dua musim haji terakhir ini (2006-2007). Hikmahnya memang kini harta waqaf Habib Bugak sudah berkembang berlipat ganda dan memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, terutama jama’ah haji. Demikian pula dengan maqam beliau, sampai saat ini menurut pengamatan saya dan setelah saya berziarah pada Senin 14 Januari 2008 tidak terurus dan tidak menggambarkan tempat peristirahatan terakhir seorang kepercayaan Sultan, Ulama dan hartawan dermawan.
 
Maka atas inisiatif Red Crescent (Hilal Ahmar), telah dibentuk panitia PEMBANGUNAN MAQAM HABIB BUGAK dengan tujuan membangun komplek maqam Habib Bugak agar memudahkan para peziarah yang hendak berdoa sekaligus untuk memberikan penghormatan kepada beliau yang telah memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh. Panitia sudah mendapatkan persetujuan dari Bupati Bireuen untuk membangun Maqam Habib Bugak di Pante Sidom Bugak atas persetujuan dari Dinas Syari’at Islam Bireuen dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen. Panitia memohon dukungan moral dan doa kepada semua jama’ah agar pembangunan dapat segera dilaksanakan agar sejarah dapat dilestarikan dan menjadi i’tibar generasi sesudahnya.
 
Sayyid atau Habib adalah gelar yang diberikan kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.
 
Para peneliti telah membuktikan bahwa para Sayyid atau Habib memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya. Terutama setelah terjadinya eksodus besar-besaran para keturunan Rasulullah dari Dunia Arab atau Parsia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi dengan keturunan dari Dinasti Bani Umayyah atau Abbasyiah pada awal abad VIII Masehi. Karena memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw, berpengetahuan luas, memiliki kemampuan menggalang pengikut setia, memobilisasi dana serta kecakapan adminstrasi dan kepemimpinan, maka banyak diantaranya yang menjadi menantu para raja dan selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Sultan.
 
Apalagi ada sebagian faham, terutama faham awal masyarakat Nusantara telah mewajibkan memberi penghormatan kepada para keturunan Rasulullah berdasarkan sebuah sabda beliau: ”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang jika engkau berpegang kepada keduanya, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Keturunanku”.Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian pasti tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari dua hal itu lebih agung daripada yang lain; Kitabullah, sebuah tali yang terentang dari langit ke bumi; dan keturunanku, ahlul-baitku. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain hingga hari Kiamat nanti. Maka, pikirkanlah baik-baik bagaimana kalian akan berpegang teguh kepada keduanya setelah aku pergi.” Itulah sebabnya para keturunan Rasulullah saw selalu mendapat kedudukan terhormat dalam strata masyarakat di Nusantara, termasuk di Aceh.
 
Menurut penelitian Snouck, para keturunan Rasulullah yang dipanggil Sayyid, Syarief atau Habib memiliki kedudukan terhormat di kalangan masyarakat Aceh sejak awal kemasukan Islam. Mereka diberikan penghormatan sebagai tokoh agama, hakim, pengajar bahkan terkadang sebagai pemimpin masyarakat dan pemegang admnistratur pemerintahan. Sejarah Aceh sendiri telah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh beberapa orang Sultan dari keturunan Rasulullah, seperti Sultan Badrul Alam dan lainnya. Namun Snouck sendiri menggambarkan para Sayyid dan Habib sebagai tokoh yang ambisius dan eksploitatif akibat kedengkiannya kepada Islam dan dorongan tugasnya sebagai agen Kerajaan Belanda yang akan menaklukkan Aceh Darussalam. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika dia menggambarkan Habib Abdurrahman Al-Zachir sebagai tokoh penghianat dan materialis yang rela menjual Aceh dan masyarakatnya kepada penjajah kafir, yang tidak pernah menjadi tradisi mulia dari keturunan Rasulullah saw apalagi sebagai seorang Habib yang mengerti dan faham akan ajaran agama.
 
Sejak pertama kali berdirinya Kerajaan Islam di Aceh, baik di Jeumpa, Pasai, Perlak dan Kesultanan Aceh Darussalam dan selanjutnya, hubungan para Sultan dengan para keturunan Rasulullah terjalin dengan eratnya. Para Habib biasanya diberi tugas sebagai penasihat agama dan spiritual para Sultan, bahkan ada yang diangkat sebagai panglima, mangkubumi, sekretaris negara dan menteri luar negeri. Namun hubungan yang berdasarkan kepada keagamaanlah yang lebih dominan. Kedekatan para Sultan dan para Habib dapat juga dibuktikan dengan kedekatan para Sultan dengan para Syarief Mekkah yang dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan atau sumber rujukan kepada masalah-masalah agama. Kedekatan antara Mekkah dengan Sultan dibuktikan dalam sejarah, ketika Sultan Iskandar Muda membuat peraturan keimigrasan di Banda Aceh (Kuta Raja) sebagaimana peraturan keimigrasian di Mekkah, bahwa orang non Muslim tidak diperbolehkan menetap tinggal di Bandar Aceh, kecuali hanya beberapa saat ketika mereka berdagang dan setelah selesai diperintahkan meninggalkan Banda Aceh atau bermalam di kapalnya.
 
Dari waktu ke waktu Syarief Mekkah akan mengirimkan para Ulama dan Habib ke Aceh untuk mengajarkan agama kepada pemimpin dan masyarakat Aceh. Puncak hubungan ini terjadi utamanya ketika masyarakat Aceh mengalami perselisihan internal keagamaan yang memerlukan keputusan seorang figur yang kuat sebagai mufti atau qadhi. Diriwayatkan dalam Sejarah Melayu, bahwa pada pertengahan abad ke 13 Masehi, Syarief Mekkah telah mengirim Syekh Ismail dengan beberapa guru agama, untuk melakukan dakwah Islam di kawasan Aceh. Dalam rombongan tersebut turut juga Fakir Muhammad dari India. Ketika terjadi perselisihan antara para pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri yang berkelanjutan di zaman Maulana Syiah Kuala, Syarief Mekkah telah mengirim beberapa orang Ulama dan Habib yang ditugaskan untuk mendamaikan perselisihan faham yang tejadi. Mereka telah berhasil menciptakan pemahaman agama yang toleran dan moderat.
 
Pada masa Iskandar Tsani (1637-1641) telah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pendidik masyarakat Aceh yang menjadi utusan Syarief Mekkah bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H / 1680 M) yang bergelar Habib Dianjung yang terkenal dan dihormati Sultan dan masyarakat Aceh yang maqamnya di Peulanggahan Banda Aceh. Masih banyak lagi nama-nama para Habib, Syarief ataupun Sayyid yang tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Aceh, terutama dalam mengembangkan ajaran Islam ataupun dalam membangun peradaban dan budaya masyarakat.
 
Tanggal, bulan dan tahun kelahiran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi secara rinci sampai sekarang belum didapatkan, baik pada dokumen-dokumen yang tersimpan ataupun dari nara sumber. Menurut perhitungan dari generasi di bawah beliau, dan disesuaikan dengan beberapa peristiwa yang menyertainya, terutama dokumen yang ditemukan di Alue Ie Puteh yang memuat silsilah dan tahun wafatnya Habib Husein bin Abdurrahman, yaitu anak Habib Abdurrahman di Monklayu pada hari senin bulan ramadhan tahun 1304 atau sekitar tahun 1880an, maka Habib Abdurrahman diperkirakan wafat lebih awal 25-30an tahun, sekitar tahun 1280an H atau sekitar tahun 1865an M. Menurut cerita keluarga besar Al-Habsyi, Habib Abdurrahman berumur sekitar 150an tahun, maka beliau diperkirakan lahir pada sekitar awal tahun 1130an H atau sekitar tahun 1710-an Masehi. Asumsi ini juga didasarkan ketika datang ke Banda Aceh beliau berumur antara 35 atau 40 tahun sebagai batas dewasanya seorang Habib Ulama utusan Syarief Mekkah. Hal ini juga merujuk kepada dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1206 H atau 1785 M yang memberikan keterangan akan tugas beliau di Bugak dan sekitarnya.
 
Menurut Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman Al-Habsyi yang didengarnya dari kakek buyutnya, Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah. Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan awal abad ke 19 M, para Syarief Mekkah atau penguasa Mekkah adalah dari kalangan Ahlul Bayt Nabi saw yang diberikan amanah oleh para Khalifah Islam sampai berakhirnya masa Khalifah Usmaniyah di Turki pada tahun 1924 M.
 
Menurut data dari beberapa sumber, terutama dari Sayed Zein bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi dan dari Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi yang dikuatkan dengan lembaran silsilah yang tersimpan pada keluarga Alm. Sayed Abdurrahman bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi, silsilah Habib Abdurrahman adalah berasal dari Mekkah yang bersambung dengan garis Rasulullah saw, beliau adalah anaknya Habib Alwi bin Syekh Al-Habsyi.
Secara lengkap nasab beliau adalah Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Hasyim bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Hasadillah bin Hasan Attrabi bin Ali bin Fakeh Muqaddam bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Baalwi Al-Habsyi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhadjir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Siddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.
 
Sedangkan jika diurut dari bawah saat ini, maka Habib Abdurrahman adalah generasi yang ke 8. Sayed Maimun (Bugak,1958-skrg) bin Sayed Abdurrahman (Bugak,1927-2003) bin Habib Abdullah (Bugak,1903-1984) bin Habib Zein (Monklayu,w.?) bin Habib Shofi (Idi,w.?) bin Habib Ahmad (Monklayu, w.?) bin Habib Husein (Monklayu, w.1304 H / 1880 M) bin Habib Abdurrahman (Bugak-Pante Sidom, w.?) bin Alwi (Mekkah,w.?) bin Syekh dan seterusnya.
 
Banyak orang yang mengkritik tradisi keturunan Rasulullah (ahlul bayt) yang selalu menjaga dan memelihara silsilah keturunan. Namun bagi para keturunan Rasulullah, hal ini adalah sangat penting, terutama dari segi fiqih, agar keturunan Rasulullah tetap menjalankan syariatnya. Salah satunya adalah keturunan Rasulullah tidak boleh atau diharamkan memakan harta zakat atau shadaqah, tetapi boleh menerima hadiyah. Bagaimana hukum fiqih ini dapat terlaksana, jika keturunan Rasulullah tidak mengetahui nasab keturunannya. Agar jangan melanggar syariat inilah, maka sangat perlu bagi keturunan Rasulullah menjaga silsilah keluarganya.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dan nusantara memberikan gelar kepada ahlul bayt atau keturunan nabi Muhammad saw dengan julukan Sayyid, Syarif, Habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk wanita. Habib adalah salah seorang keturunan nabi Muhammad yang telah memiliki pengetahuan dan dihormati dilingkungannya. Tidak umum memberikan gelar Habib kepada mereka yang bukan keturunan Rasulullah, bahkan hampir tidak pernah ditemukan seorang Ulama atau tokoh masyarakat yang diberikan gelar Habib sedangkan mereka bukan dari golongan keturunan Rasulullah. Memang ada beberapa nama yang memakai Habib, seperti Habib Adnan atau Habib Chirzin, namun Habib disisi bukan gelar, tapi memang nama mereka adalah Habib.
 
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memilikikunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya yaitu Habib Bugak, karena beliau tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom Bugak




Sumber : http://soelaldjunayd.blogspot.com/2010/12/profil-ulama-ulama-aceh.html

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 03 Oktober 2011

Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee

Sering terdengar bahwa tasawuf dan politik adalah dua dunia yang berseberangan. Asumsi ini semakin diperkuat dengan banyaknya pengikut tasawuf / tarekat yang kadang lebih memilih hidup uzlah (mengasingkan diri) dari problem-problem social disekelilingnya.

Pada dasarnya, kenyataan ini tidak berangkat dari pemahaman tasawuf yang benar menurut Islam. Rasulullah saw sebagai panutan utama dalam beragama ternyata juga seorang seorang negarawan. Rasulullah tidak hanya mengurus agama, tapi juga mengatur Negara.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.
Tulisan singkat berikut ini akan mengulas karyanya dalam bidang tasawwuf sekaligus kiprah di dunia politik.

Biografi Singkat
Ulama yang kerap dipanggil dengan sebutan Abu Krueng Kalee ini, lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe, Kabupaten Pidie. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawasan Aceh Besar. 
 
Setelah situasi perang relatif mereda, Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di krueng Kalee. Disanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri. Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang. Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah asemangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun. 
 
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alaim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.” 
 
Sekembalinya dari Mekkah Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodohkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein. Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar. 
 
Ditempat terakhir ini Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh semisal Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. Haji Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (mantan Imam Mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreng (ayahanda Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Matan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), dan lain-lainnya. 
 
Sebagaian dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendiidkan agama/ dayah baru di daerah masing-masing. Suatu hal yang patut disayangkan dari para ulama tradisional aceh dahulu adalah minimnya karya tulis keilmuan. Padahal mereka sangat “kaya” dalam khazanah ilmu agama dan pengalaman rohani. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sisitem pembelajaran di aklanagan Dayah ketika itu yang sangat terfokus pada metode “Sima’I” dan “Talaqqiy” yaitu metode belajar dengan mendengar memahami dan menghafal. Metode yang sama juga digunakan ketika mngajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi berikutnya. Sementara penyampaiannya kembali ilmu dalam bentuk narasi atau tulisan ilmiah meskipun dapat kita temukan, namun tidak sebanding dengan khazanah keilmuan yang mereka miliki. 
 
Fenomena ini juga terjadi pada kisah tgk. H. Hasan Krueng Kalee. Kemahiran Abu Krueng Kalee dalam Ilmu Falak (Astronomi) sangat disayangkan tidak membuahkan sebuah karya ilmiah yang dapat dijadikan rujukan hari ini. Padahal ilu yang dimilikinya tergolong ilmu yang langka di Aceh dan Nusantara ketika itu. 
 
Walaupun demikian semasa hidupnya Abu Krueng Kalee selalu menerbitkan hasil Hisab tentang awal bulan –bulan Arab, Khususnya Ramadhan, Syawal dan Haji yang sangat bermanfaat bagi masyarakat ketika itu. Hal senada juga diutaerakan oleh putranya, Tgk. H. Syech Marhaban Hasan Krueng Kalee, ia sangat menyayangkan minimnya karya tulis dari ayahandanya tersebut. Padahal ide, pemikiran, fatwa-fatwa dan hasil penelitian Abu Krueng Kalee dalam Hisab dan Falak sangat banyak, dan tentu akan sangat berguna jika dibukukan ketika itu. 
 
Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan Republik Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung. 
 
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam jum’at sekitar pukul tiga dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putrid. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri muda pertanian pada masa pemerintahan presiden Soekarno. 
 
Karyanya dalam Bidang Tasawuf
Selain aliran adlama berbagai disiplin ilmu agama Islam, Abu Krueng Kalee juga terkenal dengan Tasawuf dan kesufiannya. Abu Krueng Kalee adalah orang yang pertama memperkenalkan dan mengembangkan Tarekat Al-Hadadiyah di Seraambi Mekkah, sebagaimana dijelaskan dalam sanad Tarekat.

Dalam upaya menyebarkan tarekat tersebut, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menulis sebuah buku panduan dalam tarekat Al-Haddadiyah yang diberi nama: “Risalah Latifah fdi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa kaifiyatu Tilawah al-Samadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah al-Haddad.”

Kitab “Risalah” setebal 32 halaman tersebut ditulis dalam dua bahasa; Arab; dan Melayu Jawi. Kitab ini terbagi dalam empat bagian. Bagain pertama menerangkan adab berzikir dan bertahlil. Bagian kedua menerangkan cara membaca shamadiyah menurut tarekat al-Haddadiyah. Bagian ketiga tentang silsilah sanad tarekat. Dan bagian ke empat menernagkan adab dan metode membaca kitab dalail khairat sebagaimana yang diijazahkan oleh kedua gurunya, Syech Abdullah Islail dan Syech Hasan Zamzami.

Pada bagian pertama buku ini, Abu Krueng Kalee menjelaskan bagaimana prosedur yang seharusnya dipelihara dlam berzikir. Dimulai dengan memelihara adab berzikir; berupa taubat dari segala dosa besar dan kecil; duduk bersila menghadap kiblat sambil mengapitkan ibu kaki kanan ke dalam lipatan paha kiri tepat pada urat besar di bawah lutut kiri yang bernama urat kaimas; meletakkan dua tangan di atas kedua paha seraya menundukkan kepala sekedarnya dan menetapkan seluruh anggota tubuhnya. Selanjutnya membaca istighfar tiga kali dan shalawat atas Nabi sepuluh kali dengan bacaan tertentu.

Selanjutnya mulai berzikir dengan ucapan khusus, seraya memejamkan mata agar terbuka mata hatinya. Dan dibayangkan wajah/rupa guru (orang yang memeberinya ijazah tarekat) di hadapannya. Karena dengan berkat/ ‘afwah gurunya-lah ia mendapatkan kebajikan zikir tersebut. Hal inilah yang disitilahkan dengan “Rabithah” dikalangan ahlus sufi.

Buku yang selesai ditulis tanggal 5 dzulhijjah 1345 H ini, sangat menekankan pentingnya arti “Rabithah’ dalam bertarekat. Rabithah diartikan pertambatan hati antara guru dan muridnya. Menurut Abu Krueng Kalee, guru adalah ganti dari Rasulullah dalam hal memberi ijazah, Talqin dan Bai’at. Rabitah disini juga dimaknai dengan ikatan hati antara murid dengan gurunya lalu ikatan hati guru tersebut dengah gurunya yang lain hingga sampai kepada hati Rasululah Saw., selalu berharap kepada Allah ‘Azza wajalla dengan berzikir.

Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam buku ini juga menjelaskan bagaimana metode berzikir menurut tarekat al-Haddadiyah. Terlebih dahulu mengingat dalam hati kalimat “Allah, Allah” hingga hilang segala hal keduniaan (aghyar) pada hatinya. Bila telah sampai kepada kondisi itu, barulah dimulai zikir dengan mengucapkan “ “. Dalam mengucapkan kalimat “Ia” nafas di ambil dari pusar lalu dinaikkan ke otaknya, pada saat itu kepala dicondongkan sedikit ke kanan sambil mengucapkan kalimat dan pada saat mengucapkan kalimat “ seolah-olah kalimat itu dihujjamkan dalam hati yang terletak pada lambung kiri kadar dua ibu jari bawah susu. Hentakan tersebut dilakukan dengan mesra dan dimaksudkan untuk memberi bekas kepada hati, sebab ia adalah tempat bernaungnya syaitan yang bernama “Khannas”. Metode dzikir semacam ini juga dijumpai dalam berbagai tarekat sufi lain dalam pengucapan kalimat tahlil “ “.
 
Pada kesudahan buku ini juga memeperingatkan orang agar berzikir dengan tulus ikhlas semata-mata karena Allah, serta memelihara bacaan dzikir agar tidak terjadi kesalahan pengucapan yang berdampak kepada kufur. Dzikir tidak hanya dilakukan dalam keadaan duduk, tapi boleh dalam keadaan berjalan, maupun berbaring. Baik dengan lisan atau dengan hati.

Abu Krueng Kalee juga menjaelaskan sebaiknya seseorang terlebih dulu membaca samadhiah sepuluh ribu kali yang diniatkan bagi dirinya sendiri, lalau sepuluh ribu kali bagi orang tuanya, dan sepuluh ribu kali bagi syaikh/ gurunya. Akan tetapi yang paling afdhal untuk diri sendiri dibaca seratus ribu kali.
Menurut Abu Krueng Kalee, keistimewaan membaca shamadiah (surat Ikhlas) di dasari atas hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwa “ barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sepuluh ribu kali, niscaya Allah akan membebaskan dari apai neraka.” Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain Rasulullah Saw, bersabda; “ Barangsiapa membaca “ “ sepuluh ribu kali bagi mayit, niscaya Allah akan membebaskannnya dari api neraka.”

Tarekat Al-Haddadiyah memiliki cirri khas berupa kesederhanaan, khususnya dari segi bacaan dan praktek dzikir yang terfokus kepada kalimat Tauhid dan tahlil “ selain selawat dan doa-doa lainnya. Ini di dasari pada beberapa hadist Rasulullah yang menekankan pentingnya arti kalimat Tauhid tersebut.

Kiprahnya Dalam Dunia Politik
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatic, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
 
Bagi pemerhati sirah Rasulullah Saw yang mulia, hal seperti ini pada dasarnya tidaklah mengherankan. Sebab Rasul Saw yang notabene adalah waliyul aAuliya wa Asyfiya pemimpin para wali dan sufi) juga merupakan pemimpin pemerintah Islam. Mengurus agama dan juga mengatur Negara. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Akhirat adalah tujuan, sementara dunia adalah jalan (wasilah) untuk menuju kesana.

Pemahaman yang benar terhadap sirah Rasul ini membuat abu krueng kalee dapat mengkombinasikan kedua hal tadi dalam kehidupannya. karena tasawuf adan tarikat tidak selalu identik dengan uzlah (pengasingan diri) dari kehidupan social. Pemahaman ini pula yang kemudian membuat kiprah tgk. H. Hasan Krueng Kalee selalu hadir mengiuringi setiap peristiwa yang muncul disekelilingnya.
 
Dalam upaya mengusir penjajahan colonial Belanda mislanya, sikap Abu Krueng Kalee jelas terlihat dari usahanya membentuk lascar mujahidin yang terdiri dari para santri dan masyarakat guna mengusir penjajahan dari Bumi Serambi Mekkah. Hal ini terus berlanjut hingga perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan.

Puncak dari dukungan tgk. H. Hasan Krueng Kalee terhadap republic Indonesia yang baru lahir ketika itu adalah diterbitkannya “Maklumat Ulama Seluruh Aceh” tanggal 15 oktober 1945. maklumat ini berisikan tentang fatwa bahwa perjuangan memeprtahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (Jihad fi sabilillah), dan merupakan sambungan dari perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Alm. Tgk. Chik Di Tiro, dan pahlawan-pahlawan kebangsaan lainnya. Maklumat penting ini diprakarsai dan ditandatangani oleh empat Ulama besar yaitu; Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Tgk. M. Daud Bereu’eh, Tgk. H. Djakfar Sidik Lamjabat, dan Tgk. Ahmad Hasballah Indarapuri, serta diketahui oleh Teuku Nyak Arief selaku residen Aceh dan disetujui oleh Tuanku Mahmud selaku ketua Komite Nasional.

Selain maklumat bersama, beliau juga mengeluarkan maklumat sendiri yang tidak jauh berbeda dengan maklumat itu. Maklumat tersebut kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (pemuda republic Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani ketua umumnya Ali Hasjimi tertanggal 8 November 1945 dan dikirim kepada para tokoh dan ulama seluruh aceh. Dampak dari seruan ini, berdirilah barisan Mujahidin diseluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahiddin Divisi Tgk Chik di Tiro.
 
Keluarnya Maklumat Ulama seluruh Aceh tadi sangat memberi dampak positif bagi pemeritah baru RI saat itu dan munculnya semangat dukungan fisik dan materil rakyat Aceh bagi membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sehingga tidak mengherankan, dalam kunjungan pertama presiden Soekarno ke Aceh Juni 1948, ia menegaskan bahwa Aceh segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.”
 
Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan hulubalang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI.

Pada dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah seorang diantaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.

Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh dating menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkpan yang masyhur; “Ta Peu’ek geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah laying-layang ketika angina kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan mebuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.

Menjelang tahun lima puluhan, bersama beberapa tokoh lain Abu Krueng Kalee memprakarsai lahirnya Perdatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) di Aceh sekaligus memimpin organisasi tersebut aktif hingga tahun 1968.

Kiprah politik beliau terus berlanjut hingga pernah diangkat menjadi Dewan Konstituante pasca pemilu 1955 mewakili PERTI. Hingga akhir hayatnya beliau terus memberikan ilmu-ilmunya kepada masyarakat melaui konsultasi dan pengajian-pengajian.

Penutup
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun degungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam
Bahan ini merupakan ringkasan dari buku Ensikoledi Pemikiran ulama Aceh, karena sulitnya mencari biografi beliau.





Sumber: http://soelaldjunayd.blogspot.com/2010/12/profil-ulama-ulama-aceh.html

[+/-] Selengkapnya...